Tuesday, November 17, 2009

RENUNGAN KEBANGSAAN DAN PANCASILA

Pendahuluan

Setiap bulan Oktober dan November kita selalu memperingati hari-hari bersejarah, dan hati kita bagaikan terbakar oleh api patriotisme manakala kita memaknainya dengan refleksi mendalam. Jiwa dan semangat pengabdian pada Ibu Pertiwi disegarkan kembali oleh kisah historis-herois-patriotis, sarat dengan nilai-nilai sejarah bangsa yang sepatutnya kita lestarikan. Tanggal 5 Oktober adalah hari lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang secara embrional berasal dari laskar, kelompok perjuangan, PETA dan eks KNIL yang terpanggil untuk mempertahankan kemerdekaan. Secara etnis mereka terdiri dari semua suku yang ada di Nusantara namun semuanya dirasuki semangat kejuangan, nasionalisme dan patriotisme yang tinggi. Tanggal 28 Oktober adalah hari Sumpah Pemuda, yang dapat disebut sebagai ”hari lahirnya Kebangsaan Indonesia”, yang dicetuskan oleh para pemuda dari berbagai belahan Nusantara. Pada saat itu mereka dikenal dengan nama Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Java, Jong Kalimantan, Jong Sumatera dan lain-lain. Mereka menjadi satu karena didorong oleh rasa kebangsaan dan kesadaran bersama, ”melawan penjajahan dan ketidak-adilan”. Lalu 10 November adalah Hari Pahlawan, yang awalnya ditandai dengan perjuangan berdarah arek-arek Soroboyo (Jawa Timur), pemuda-pejuang di hampir semua kota dan daerah di Indonesia bangkit melawan penjajah kendati hanya bersenjatakan ”bambu runcing” dengan berbekal tekad dan semangat ”Merdeka atau Mati”, patriotisme dan heroisme yang bulat-pekat. Hemat saya, berhasil atau tidaknya Bangsa Indonesia mencapai cita-cita agungnya, sangat tergantung pada kemampuan kita memelihara dan mengaktualisasikan nilai, semangat, jiwa, nasionalisme, patriotisme dan heroisme yang mewarnai kehidupan anak-anak bangsa pada setiap episode sejarah tersebut. Oleh karena itu, teramat penting agar ke depan nilai serta semangat tersebut akan tetap menyala dalam hati sanubari kita sebagai generasi penerusnya.

Thursday, September 10, 2009

SPEKTRUM MASALAH TERORISME

Diskursus tentang terorisme di berbagai mass media kembali mengemuka pasca bom JW Marriot–Ritz Carlton 17 Juli lalu hingga saat ini. Dilihat dari kacamata demokrasi hal ini amat positif karena menggambarkan kebebasan mengemukakan pendapat serta partisipasi yang amat luas. Namun amat disayangkan, diskursus yang diramaikan oleh pengamat, aktivis, wartawan dan purnawirawan tersebut pernah tergiring oleh pandangan bahwa terorisme merupakan “pelanggaran hukum”, sehingga perdebatan pun terjebak hanya pada masalah keikutsertaan TNI dalam penanganannya, bahkan sudah mengarah pada memperhadapkan TNI dengan Polri (Kompas 28/8/09), justru di tengah mereka sedang memperlihatkan kerjasama yang baik. Perdebatan semacam ini kontra produktif, tidak solutif, bahkan dapat mengundang persoalan baru.

Kompleksitas Terorisme

Masalah terorisme bukan sekedar masalah pelanggaran dan penegakan hukum semata, melainkan menyangkut masalah yang amat luas. Aksi terornya sendiri apalagi dengan modus bom bunuh diri pasti dilatar belakangi oleh masalah ideologi atau kepentingan, setiap aksi teror juga dipastikan mempunyai tujuan politik tertentu, korban jiwa dan kerusakan yang luas tentu berdampak buruk pada bidang ekonomi, akibat destruktif yang lebih serius akan terjadi pada bidang sosial-budaya yaitu munculnya patologi sosial berupa trauma luas dan tumbuhnya budaya kekerasan di kalangan masyarakat. Patut disadari bahwa terorisme di tanah air yang didukung terorisme global tidak pernah berhenti bermanuver, melakukan indoktrinasi, mengembangkan jaringan serta mengintip kesempatan untuk beraksi. Semua tindakannya dilakukan secara klandestin sehingga mereka dapat mengikuti apa yang dilakukan oleh aparat dengan leluasa, sebaliknya aparat menghadapi kesulitan untuk mendeteksi mereka, apalagi bila tindakannya hanya bersifat parsial/tidak terpadu. Fakta terakhir menunjukkan bahwa teroris telah berhasil merekrut para remaja belasan tahun dan seorang diantaranya menjadi pelaku bom bunuh diri di hotel JW Marriott, fakta ini sesungguhnya sudah sangat pantas untuk menjadi tanda alarm atau wake-up call bagi kita sebagai bangsa.

Monday, June 8, 2009

HAKIKAT PANCASILA BUKAN DEMOKRASI LIBERAL

Tanggapan terhadap Opini Christianto Wibisono

Secara pribadi Christianto Wibisono adalah sahabat saya, dan secara personal pula saya suka membaca tulisan-tulisan kritisnya dan mengapresiasi intelektualitas dan kecendekiawanannya. Namun kali ini saya tergerak untuk menanggap ulasan ‘hangat’nya di Suara Pembaruan (Senin, 1/6). Artikel yang amat mengagungkan liberalisme tersebut mengandung sejumlah poin yang perlu ditanggapi secara kritis pula, karena dalam pigura kebangsaan tampaknya memperlihatkan mispersepsi yang serius terhadap Pancasila sebagai platform kebangsaan dan kenegaraan kita.

Saya tidak menanggapi kerisauan, keprihatinan bahkan ‘peringatan’ kritis penulis terhadap para Capres-Cawapres yang saat ini gencar menawarkan berbagai ide dan visi besar – yang oleh Christianto dinilai sloganistis belaka – karena memang begitulah salah satu ruang yang dibuka lebar oleh “demokrasi liberal” bagi semua orang untuk melontarkan visi dan impiannya, besar atau kecil. Namun yang menjadi fokus dialog melalui tulisan ini adalah cara pandang atau sudut tafsir terhadap demokrasi liberal serta demokrasi ala Indonesia yang diberi nama “Demokrasi Pancasila” sesuai karakter, nafas, jiwa dan platform kebangsaan-kenegaraan kita yang telah diracik, dibangun dan diwariskan oleh para founding fathers/mothers.

Wednesday, December 5, 2007

Aceh: Kondisi Darurat yang Perlu Tanggap-Segera!

Tanggapan terhadap Marco Kusumawijaya

BENCANA mahadahsyat gempa bumi disertai tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara merupakan tragedi alam yang menyentuh nurani manusia manapun dan mengundang simpati lintas-bangsa, lintas-budaya, lintas-agama, lintas-kepentingan yang berbaur menjadi satu muatan: pro-kemanusiaan. Begitu beratnya dampak yang ditimbulkan baik secara material maupun immaterial terutama korban jiwa, sehingga uluran tangan berdatangan dari mana-mana termasuk dunia internasional.

Kalau komunitas internasional saja tergerak untuk membantu humanitarian relief bagi masyarakat Aceh-Sumut – dari dukungan fisik-teknis (termasuk pengerahan militer dan relawan sipil) hingga sokongan dana – yang berskala besar, maka niscaya kita anak bangsa sendiri mestinya lebih terangsang untuk membantu apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan masyarakat yang tertimpa bencana.

Kondisi Aceh pasca bencana merupakan “realitas abnormal” dalam arti sesungguhnya, yang secara analogis dapat diibaratkan dengan kondisi pasien gawat-darurat (emergency) yang perlu ditangani dengan tindakan medis yang bersifat emergency pula. Kondisi darurat semacam itu membutuhkan langkah therapi yang bersifat darurat pula tanpa meninggalkan norma – yang lazim ditatalaksanakan dalam kondisi normal – terlalu jauh. Memandang, menganggap dan mengambil langkah secara “normal” terhadap suatu kondisi “abnormal” atau gawat-darurat dapat – atau bahkan sudah – merupakan sebagian dari kesalahan malah kegagalan dalam pendekatan terhadap masalah.

Dialog RI-GAM: Menjaga atau Mencederai Momentum?

SEMENTARA sebagian besar energi dan pikiran – tentu saja juga, dana dan sumber daya lainnya -- bangsa kita tengah diarahkan dan bakal tercurahkan lebih banyak lagi untuk proses dan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Sumut pasca bencana, kita dihadapkan (sekali lagi) dengan semacam “ujian politik” ini: berunding dengan GAM. Mulanya ujian politik ini diharapkan dapat dilewati dengan baik (dan berhasil!) agar tidak mengulangi kekeliruan terdahulu yang justru telah menciptakan ruang bagi rekonsolidasi dan pemerkuatan diri secara amat signifikan bagi GAM baik dalam posisi-tawar politis maupun kekuatan bersenjatanya.

Namun, seperti diwartakan media massa nasional termasuk harian ini (KOMPAS, 31/1) pertemuan yang akhirnya berlangsung di Finlandia itu disinyalir gagal atau tidak memenuhi harapan semula dalam kerangka mencapai solusi bagi masalah Aceh secara damai, tuntas, langgeng dan bermartabat dengan catatan penting: tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRRI).