Tuesday, November 17, 2009

RENUNGAN KEBANGSAAN DAN PANCASILA

Pendahuluan

Setiap bulan Oktober dan November kita selalu memperingati hari-hari bersejarah, dan hati kita bagaikan terbakar oleh api patriotisme manakala kita memaknainya dengan refleksi mendalam. Jiwa dan semangat pengabdian pada Ibu Pertiwi disegarkan kembali oleh kisah historis-herois-patriotis, sarat dengan nilai-nilai sejarah bangsa yang sepatutnya kita lestarikan. Tanggal 5 Oktober adalah hari lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang secara embrional berasal dari laskar, kelompok perjuangan, PETA dan eks KNIL yang terpanggil untuk mempertahankan kemerdekaan. Secara etnis mereka terdiri dari semua suku yang ada di Nusantara namun semuanya dirasuki semangat kejuangan, nasionalisme dan patriotisme yang tinggi. Tanggal 28 Oktober adalah hari Sumpah Pemuda, yang dapat disebut sebagai ”hari lahirnya Kebangsaan Indonesia”, yang dicetuskan oleh para pemuda dari berbagai belahan Nusantara. Pada saat itu mereka dikenal dengan nama Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Java, Jong Kalimantan, Jong Sumatera dan lain-lain. Mereka menjadi satu karena didorong oleh rasa kebangsaan dan kesadaran bersama, ”melawan penjajahan dan ketidak-adilan”. Lalu 10 November adalah Hari Pahlawan, yang awalnya ditandai dengan perjuangan berdarah arek-arek Soroboyo (Jawa Timur), pemuda-pejuang di hampir semua kota dan daerah di Indonesia bangkit melawan penjajah kendati hanya bersenjatakan ”bambu runcing” dengan berbekal tekad dan semangat ”Merdeka atau Mati”, patriotisme dan heroisme yang bulat-pekat. Hemat saya, berhasil atau tidaknya Bangsa Indonesia mencapai cita-cita agungnya, sangat tergantung pada kemampuan kita memelihara dan mengaktualisasikan nilai, semangat, jiwa, nasionalisme, patriotisme dan heroisme yang mewarnai kehidupan anak-anak bangsa pada setiap episode sejarah tersebut. Oleh karena itu, teramat penting agar ke depan nilai serta semangat tersebut akan tetap menyala dalam hati sanubari kita sebagai generasi penerusnya.


Kebangsaan dan Pancasila

Sesungguhnya Kebangsaan Indonesia tidak terbentuk secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses panjang-gradual-evolutif yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial yang berkembang sesuai jamannya. Nama Indonesia sendiri pertama kali dicetuskan oleh Cornelis van Vollenhoven – seorang ahli ”Hukum Adat Hindia-Belanda” dan ”Hukum Administrasi Belanda” dari Universitas Leiden – pada awal abad ke-20. Selama hidupnya ia hanya dua kali datang ke Indonesia (1907 dan 1932) untuk melakukan penelitian hukum adat dan Islam, kemudian meninggal di negeri Belanda pada 1933. Namun nama yang diperuntukkan bagi daerah jajahan Hindia-Belanda dan dimaksudkan untuk memudahkan van Vollenhoven dalam melakukan penelitian tersebut, ternyata belakangan turut menyuburkan penyemaian semangat kebangsaan penduduk Hindia-Belanda yang semula tercerai-berai akibat politik Devide et Impera. Secara embrional, semangat rakyat Hindia-Belanda untuk bersatu menjadi Indonesia sejatinya telah tumbuh jauh sebelum van Vollenhoven lahir pada tahun 1874. Sejarah Nusantara mencatat selama abad ke-19 saja terjadi berbagai perang melawan penjajah Belanda (Padri, Diponegoro, Bali, Aceh, Batak, Banten, dan sebagainya). Dalam abad sebelumnya juga terjadi perlawanan sporadis seperti yang dilakukan Sultan Agung dari Mataram, Sultan Hasanuddin dari Makassar serta perlawanan-perlawanan lainnya.

Semangat perlawanan dan berbagai perang yang dilatarbelakangi dan didorong oleh ketidakadilan akibat penjajahan, kemudian mengkristal menjadi kesamaan ”Rasa” (common sense) dan terus berproses hingga menjadi kesamaan ”Asa” (common hope), kesadaran bersama (common awareness) yang membuahkan berdirinya Boedi Oetomo, menandai dimulainya ”Kebangkitan Nasional” (1908). Spirit kebangkitan itu seperti menemukan ”titik api”nya yang semakin memanaskan suhu perjuangan pembebasan bangsa dari penjajahan dan membakar gelora persatuan nasional, ketika tanggal 28 Oktober 1928 Sumpah Pemuda dikumandangkan. Hasrat/sifat ”keakuan” dan ”kekamian” berhasil dilebur menjadi semangat/jiwa ”kekitaan”. Itulah momentum lahirnya spirit ”Kebangsaan Indonesia”. Semangat untuk melawan ketidak adilan, mengusir penjajah pun tidak lantas berhenti, tetapi terus bergelora dan berproses hingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dilanjutkan dengan Perang Gerilya dipimpin Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk mengusir kaum penjajah yang ingin menguasai kembali Indonesia serta mempertahankan eksistensi Pemerintah Indonesia lewat pembentukan Pemerintahan Darurat. Selain itu aksi-aksi diplomasi pun terus dilancarkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta cs, berbagai perjanjian dan konferensi pun diselenggarakan hingga ”Pengakuan Kedaulatan” 1949.

Keberhasilan dari sejarah panjang Keindonesiaan yang membuahkan kemerdekaan tersebut pada hakikatnya digelorakan oleh ”semangat perubahan/pembaruan” yang disuburkan oleh mosaik nilai-nilai keadilan, kekeluargaan, gotong-royong, kebersamaan, toleransi, mufakat, persatuan, komitmen, keberanian, keuletan, sikap pantang menyerah dan yang terpenting adalah keteladanan. Para founding fathers/mothers telah membingkai nilai-nilai tersebut dalam pigura Pancasila sebagai ”pandangan hidup bangsa” (Weltanschauung) yang dihasilkan dalam sidang BPUPKI/PPKI pada 1 Juni 1945, kemudian secara legal-formal ditetapkan bersamaan dengan diberlakukannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Dengan demikian Pancasila secara resmi telah mengikat seluruh bangsa Indonesia (terutama kaum elit-politiknya) dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Berarti pula Pancasila telah disepakati dan resmi menjadi Jatidiri Bangsa Indonesia yang harus dibentuk lewat proses akbar ”Character Building” yang tetap berkelanjutan (never ending process).

Namun pertanyaan besar yang selalu menggelitik akal budi, mengusik nurani adalah apakah nilai-nilai tersebut masih tetap hidup dan berkembang dalam sanubari anak-anak bangsa Indonesia? Berbagai fenomena memperlihatkan betapa nilai-nilai tersebut telah mengalami kelunturan, erosi dan degradasi. Padahal para founding fathers/mothers secara sangat cerdas, arif dan visioner telah memformulasikan Pancasila dengan merujuk pada nilai-nilai kearifan lokal serta nilai-nilai yang berkembang secara global-universal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah buah perkawinan antara ”lokalitas dan universalitas” yang sangat tepat, relevan untuk bangsa Indonesia, benar-benar berakar dan bersumber pada ranah Keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis. Sehingga Prof. Syafii Maarif mengapresiasinya sebagai ”masterpiece” (karya agung) anak bangsa dan Jacob Oetama menyebutnya sebagai hasil dari pemikiran cerdas yang mendahului jamannya.

Mengapa Pancasila?

Pada saat proses perumusan tersebut, secara global telah berkembang paham individualisme-liberalisme serta kolektivisme sebagai acuan negara-negara baru dalam merumuskan platform kenegaraannya. Namun para bapak bangsa tidak mengadopsi kedua paham besar tersebut. Sistem liberal yang merupakan anak kandung individualisme justru ditentangnya karena dianggap menurunkan kapitalisme serta kolonialisme/imperialisme. Mereka juga menafikan kolektivisme ala Marxis-Leninis yang menurunkan diktatorisme/otoritarianisme. Founding fathers lebih memilih sistem ”negara kekeluargaan” yang digali dari akar budaya bangsa sendiri, seperti semangat gotong-royong, musyawarah-mufakat, Bhinneka Tunggal Ika -- Tanhanna Dharma Mangrva, toleransi, apresiasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, kemerdekaan, ikatan NKRI serta kedaulatan rakyat yang semuanya terpatisari dalam Pancasila. Oleh karena Pancasila digali oleh Bung Karno dan kawan-kawan dari akar budaya bangsa sendiri, maka Pancasila amat membumi sehingga apabila dikembangkan dan diimplementasikan niscaya akan menjadi ”jatidiri bangsa” serta ”perekat yang ampuh”, penjamin kelanjutan eksistensi bangsa dan negara.

Untuk lebih memahami mengapa founding fathers memilih Pancasia sebagai pandangan hidup bangsa, sebaiknya kita telusuri karakteristik Keindonesiaan yang mereka jadikan bahan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, secara demografis bangsa kita memiliki pluriformitas yang sangat lebar dari berbagai aspek (multidimensi). Dengan jumlah penduduk yang sangat besar (keempat terbesar di dunia), terdapat kesenjangan multiaspek misalnya aspek pendidikan, ekonomi, sosial dan kultural.

Kedua, secara kultural, dalam masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara sudah lama berkembang bahkan sudah mendarah-daging nilai-nilai luhur seperti kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, keramah-tamahan, budi pekerti dan sebagainya. Namun selain itu, menurut antropolog budaya terkemuka mendiang Prof. Dr. Koentjaraningrat, banyak juga kalangan masyarakat bangsa kita yang mengidap simptom penyakit sosial yang negatif bahkan destruktif. Seperti berwatak ”feodalistis”, yang berorientasi pada status sosial dan materi sehingga melahirkan kecenderungan perburuan kekuasaan dan koruptif: ”munafik” (cenderung berpura-pura), ”suka mencari kambing hitam” (melempar kesalahan kepada orang lain, tidak mau bertanggung jawab), juga ”malas” (pasif, rendah dalam inisiatif, kreasi dan inovasi). Itulah yang membedakan kita dengan bangsa Jepang, misalnya. Kita sangat kaya-raya secara natural, namun karena kurang kreatif dan inovatif, kita jauh terbelakang ketimbang Jepang yang sangat miskin sumber daya alamnya namun luar biasa kreatif dan inovatif. Untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa serta mengatasi penyakit budaya tersebut, satu-satunya jalan/cara terapi adalah pendidikan yang berkualitas, berorientasi pada pembangunan jatidiri bangsa dan karakter manusia Indonesia (nation and character building), dan karena itu tentu saja berproses dalam kurun waktu lama sehingga disebut “mega-proyek jangka panjang” dan tidak bertepi. Persoalannya, sistem pendidikan nasional kita saat ini justru bermasalah, selain lebih menekankan aspek transfer of knowledge daripada transfer of values, juga terjadi liberalisasi sistem pendidikan nasional sehingga tidak kontributif terhadap upaya pembangunan budaya bangsa.

Ketiga, secara geografis, negara kita merupakan negara kepulauan (archipelagic country) dengan garis pantai yang amat panjang (nomor dua terpanjang di dunia), terletak pada posisi silang yang amat strategis serta amat kaya dengan Sumber Daya Alam. Kondisi ini melahirkan banyak keuntungan dan aspek positif bagi kepentingan nasional seperti manfaat ekonomis, namun secara bersamaan mengandung pula potensi kerawanan, termasuk memudahkan masuknya kepentingan-kepentingan asing (regional dan global) yang dapat berbeda bahkan berbenturan dengan kepentingan nasional. Selain itu sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang berakibat sulitnya pengawasan wilayah.

Dengan melihat kondisi Keindonesiaan seperti itu serta merujuk pada nilai-nilai kearifan lokal, Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa-bernegara dirumuskan. Sehingga benar-benar berakar dan bersumber pada ranah Keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis, bernilai amat strategis-visioner dan sangat relevan untuk digunakan sebagai pandangan hidup bangsa.

Perkembangan Implementasi Pancasila

Namun dalam perjalanan sejarahnya ternyata Pancasila yang sejak awal diidealkan menjadi common platform bangsa-negara tidak pernah diimplementasikan dan dikembangkan secara konsisten. Pada era Orla (Bung Karno) yang secara eksperimental menerapkan Demokrasi Terpimpin dan secara kontradiktif memaksakan Nasakomisasi yang justru bertentangan dengan Pancasila, lalu pada era Orba (Pak Harto) terjadi banyak deviasi atau penyimpangan dalam implementasi Pancasila karena kepentingan kekuasaan dan penyelenggaraan negara masih sangat dipengaruhi feodalisme dan diwarnai korupsi-kolusi-nepotisme (KKN). Memasuki era Reformasi tanpa disertai konsep kesiapan melakukan perubahan yang memadai, hanya sekedar untuk menumbangkan rezim lama yang dianggap otoriter. Lalu menggelar demokratisasi (”liberal”) yang pada hakikatnya tidak pas dengan akar budaya bangsa, disertai dinamika demokratisasi yang bergerak amat cepat, demi demokrasi juga dibuka keran kebebasan yang nyaris tanpa batas, terlebih lagi proses tersebut digelindingkan di tengah arus ”Globalisasi”. Maka masuklah aneka-ragam ideologi/paham yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai Keindonesiaan seperti liberalisme-kapitalisme, Wahabisme, American Evangelism yang agresif serta fundamentalisme lainnya bahkan Radikalisme yang kerap disertai Terorisme.

Memang diakui bahwa tidak sedikit kemajuan berbagai bidang yang dibuka oleh keran demokrasi, tidak hanya sekedar berakhirnya otoritarianisme serta tumbuhnya check and balances dalam pemerintahan, tapi juga disertai dengan berbagai kemajuan lain seperti partisipasi politik, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan pers (sayangnya malah kebablasan). Namun, di sisi lain harus pula kita sadari bahwa demokratisasi atau transisi demokrasi (sekali lagi ”liberal”) bersifat instan di Indonesia yang amat majemuk, selain tidak sesuai dengan akar budaya bangsa, juga mengan dung potensi konflik yang amat besar.

Pada era reformasi Pancasila tidak hanya sekedar diselewengkan, tetapi malah dianggap kuno, lebih ekstrim lagi ada yang menganggapnya sudah merupakan fosil, sebagai ”ideologi gagal” yang tabu untuk dibicarakan. Demokrasi Pancasila telah digantikan oleh demokrasi liberal dengan ciri pemilihan langsung one man-one vote, sistem perwakilan serta musyawarah-mufakat yang bercirikan respek terhadap kelompok minoritas telah digantikan sistem voting, mengakibatkan aspek keterwakilan terutama dari aspek etnik menjadi lemah. Patut diingat kembali penegasan Bung Hatta bahwa prinsip demokrasi adalah ”keterwakilan” yang mengedepankan egalitarianisme. Sementara praktek demokrasi di Indonesia dewasa ini yang sangat liberal justru “membunuh” prinsip egaliter dan keterwakilan itu. Sebagai bukti/contoh empiris, seharusnya Suku Badui, Anak Dalam dan berbagai kelompok minoritas diwakili dengan cara “ditunjuk”, bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan free fight), agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan di parlemen. Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat/ bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia. Sebagai perbandingan, Suku Mohawk di Kanada yang sudah sangat minim jumlahnya, mendapat wakil diparlemen dengan cara ditunjuk.

Adalah salah kaprah yang fatal jika demokrasi diidentikkan dengan voting karena hal itu hanyalah salah satu cara dalam berdemokrasi. Musyawarah mufakat dan penunjukan berdasarkan asas egalitarian pun merupakan cara berdemokrasi yang elegan, benar, etis, dan rasional, yang secara obyektif sangat tepat diterapkan dalam konteks Keindonesiaan. Kini pola individualisme yang ketat serta liberalisme telah mewarnai demokrasi di Indonesia sehingga memudarkan ciri kekeluargaan, gotong-royong dan musyawarah-mufakat – suatu ekspresi Keindonesiaan yang berkarakter kolektif – sehingga buahnya adalah tumbuh subur tendensi Machiavelisme, politik uang, bahkan konflik politik yang kerap diwarnai anarkisme cenderung meluas dan melebar

Dari aspek ekonomi, sistem liberal telah mendorong kita menjadi fundamentalis pasar bebas, membuka sangat lebar pintu partisipasi aktor-aktor internasional yang mengakibatkan kuatnya posisi dan pengaruh Multi Nasional Corporations (MNC) serta lembaga keuangan supra-nasional seperti IMF, Bank Dunia dan lainnya dalam perekonomian nasional. Liberalisasi ekonomi yang diikuti gelombang privatisasi dan pelaksanaan Otonomi Daerah yang kurang terkontrol mengakibatkan banyaknya sumber daya alam dan permodalan dikuasai oleh kapitalis asing, sehingga pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional menjadi semu, fatamorgana, ”unequitable growth”, karena tidak dinikmati oleh rakyat kita; sebaliknya manfaat pertumbuhan tersebut telah lari keluar. Sedangkan dari perspektif budaya, seiring dengan berkembang biaknya virus neoliberalisme, berkembang pula sikap atau mentalitas bangsa yang individualistis, materialistis, hedonistis serta konsumtif. Kondisi ini telah melemahkan daya tahan bangsa atau ketahanan nasional kita.

Dengan demikian proses penguatan rezim neoliberalisme-kapitalisme pada satu sisi serta pelemahan nilai-nilai Pancasila pada sisi lain, apabila berkembang tanpa terkontrol atau menyerah saja pada dinamika global yang berjalan, niscaya akan terjadi ketegangan kultural dan benturan nilai yang berpotensi konflik. Konflik seperti itu mahal ongkos politik, ekonomi dan sosialnya, serta akan menjadi ancaman nyata bagi integritas bangsa dan negara. Patut kita jadikan pelajaran berharga apa yang dialami Uni Soviet pada masa lalu. Union Country yang memiliki 140 etnis ini pecah menjadi 15 negara setelah Glasnost/Perestroika dan masih potensial untuk menjadi puluhan negara. Dalam konteks ini dapat dibayangkan apa yang mungkin (bakal) terjadi di Indonesia dengan lebih dari 1072 kelompok etnis yang berdiam di 3000-an pulau. Jika tidak dibentengi Pancasila, dipagari nasionalisme serta dikawal oleh kesadaran bela negara dan patriotisme yang kokoh-tangguh, siapakah yang bisa menjamin bahwa eksistensi NKRI dapat terhindar dari disintegrasi.

Revitalisasi dan Reaktualisasi Pancasila

Uraian di atas menggambarkan betapa Pancasila telah teralienasi oleh paham dan nilai asing yang justru bertentangan dengannya. Pengaruh paling dominan dan destruktif saat ini justru datang dari individualisme-liberalisme-kapitalisme. Oleh karena itu kini sangat urgen bagi kita anak-anak bangsa Indonesia untuk bersama membangun kembali upaya revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila. Secara normatif seharusnya upaya itu dilakukan melalui proses besar Character building lewat pendidikan formal maupun nonformal sejak usia dini, dilakukan di sekolah serta lingkungan keluarga/rumah tangga dan masyarakat, dengan mentransformasikan nilai-nilai dan ilmu pengetahuan untuk membentuk insan yang berkarakter. Akumulasi dari proses ini diharapkan akan mampu membentuk suatu lingkungan masyarakat dan bangsa yang berkarakter Pancasila. Apabila karakter bangsa tersebut sudah mendarah daging dan diimplentasikan dalam keseharian maka akan menjadi “Jatidiri Bangsa Indonesia” yang tiada lain dari pada Pancasila itu sendiri. Suatu tatanan kehidupan masyarakat bangsa yang bercirikan religius, manusiawi, nasionalis-patriotis, demokratis serta taat hukum dan berkesejahteraan sosial. Dalam Pancasila juga terdapat nilai-nilai warisan nenek moyang berupa keramah-tamahan, respek kepada orang tua dan leluhur, kekeluargaan, gotong-royong, kebersamaan, toleran serta musyawarah-mufakat.

Untuk lebih mendalami permasalahan jatidiri bangsa, maka perlu terlebih dahulu memahami pengertian tentang jatidiri, karakter, kepribadian, karakter bangsa dan jatidiri bangsa serta bagaimana seharusnya jatidiri bangsa itu dibentuk lewat pembangunan karakter atau ”character building” sebagaimana uraian dibawah ini:

Jati Diri. Dipandang dari sudut bahasa, jatidiri adalah ”diri yang sejati/sejatinya diri”. Secara budaya adalah ”ciri bawaan sejak lahir/merupakan fitrah” yang menunjukkan siapa sebenarnya diri kita secara ”fisik maupun psikologis”, bersifat bawaan sejak lahir (gift), serta merupakan sumber dari watak/karakter dan totalitas kepribadian seseorang.

Karakter adalah ”sifat batin/watak yang mempengaruhi pikiran dan perbuatan seseorang”. KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) menyebutkan watak sama dengan akhlak, sama juga dengan tabiat. Watak atau karakter juga diartikan sebagai semua gejala pada seseorang (seluruh kepribadiannya) yang dapat dilihat dari pandangannya tentang hal-hal yang salah atau benar, yang baik atau yang buruk. Karakter bersumber dari jatidiri dan dikembangkan oleh proses sosialisasi nilai-nilai budaya dan interaksi dengan orang lain yang berlangsung secara terus-menerus, sejak manusia dilahirkan, melalui pendidikan–pergaulan–pembelajaran–pengalaman. Dengan kata lain karakter adalah kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya dorong yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan seseorang.

Tabiat/prilaku atau umumnya disebut sebagai Kepribadian, merupakan penampilan (lebih ke psikologis) seseorang yang terpancar dari karakter. Namun penampilan ini belum tentu mencerminkan karakter yang bersangkutan, karena dapat saja tertampilkan sangat bagus tetapi didorong oleh ”kemunafikan”. Dengan demikian untuk mengenal seseorang secara lengkap diperlukan waktu, karena yang terpancar sebagai lingkaran terluar adalah kepribadian yang bisa mengecoh, sementara lingkaran kedua adalah karakter dan lingkaran terdalam adalah jatidirinya. Secara visual hubungan antara jatidiri, karakter dan kepribadian dapat digambarkan sebagai berikut:


Karakter Bangsa. Karakter bangsa adalah akumulasi yang terbentuk dari karakter orang per orang, merupakan kumpulan tata nilai yang dianut suatu bangsa, sebagai pemikiran, sikap dan perilaku umum dari bangsa tersebut. Unsur utama dalam pembentukan karakter bangsa adalah nilai-nilai budaya. Maka pengembangan budaya merupakan penentu totalitas kepribadian/karakter bangsa yang berawal pada akar perjalanan sejarahnya dan ditentukan oleh hasil proses aktualisasi nilai-nilai budaya tersebut, kemudian dijadikan dasar dan tujuan pengembangan hidup bersama sebagai bangsa. Oleh karenanya pembangunan karakter suatu bangsa adalah suatu proses yang sifatnya berkelanjutan (never ending process) menuju pada kondisi karakter bangsa yang diinginkan. Dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah ramuan nilai yang digali dari akar sejarah dan budaya bangsa, sehingga Pancasila merupakan dasar sekaligus tujuan dalam pembangunan karakter (character building) bagi bangsa Indonesia.

Jatidiri Bangsa. Berbeda dengan jatidiri orang perorang yang bersifat bawaan/fitrah, jatidiri bangsa atau identitas suatu bangsa adalah pilihan (choice), karena merupakan tatanan kehidupan masyarakat/bangsa yang harus dibentuk. Jatidiri bangsa terbentuk dari pancaran karakter bangsa yang sudah melembaga/mendarah daging atau menjadi kebiasaan sehari-hari sehingga menjadi identitas atau ciri umum dari bangsa tersebut. Sebagai misal bangsa Jepang yang ciri umumnya pekerja keras, disiplin, ulet, rasa malunya besar sehingga kalau mengalami kegagalan ditebusnya dengan ”harakiri”.

Bagi bangsa Indonesia, jatidiri yang diinginkan/dituju dan harus dibentuk tiada lain daripada Pancasila, suatu tatanan kehidupan masyarakat bangsa yang bercirikan religius, manusiawi, nasionalis-patriotis, demokratis serta taat hukum dan berkesejahteraan sosial. Dalam Pancasila juga terdapat nilai-nilai warisan nenek moyang berupa keramah-tamahan, respek kepada orang tua dan leluhur, kekeluargaan, gotong-royong, kebersamaan, toleran, musyawarah dan seterusnya. Selain menjadi tujuan, Pancasila juga sekaligus menjadi panduan, tuntunan hidup bagi setiap warga negara maupun masyarakat dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Visualisasi pembentukan jatidiri bangsa dapat digambarkan sebagai berikut:


Selain itu masih terdapat banyak banyak nilai-nilai Keindonesiaan yang seharusnya dipertahankan dan ditumbuh kembangkan, namun paling tidak ada empat hal yang perlu lebih diutamakan karena tanpa keempatnya niscaya bangsa Indonesia akan kehilangan eksistensinya, keempat hal tersebut adalah Wawasan Kebangsaan, Nasionalisme, Patriotisme dan Semangat Bhineka Tunggal Ika.

Dari perspektif Keindonesiaan, ”Wawasan Kebangsaan” adalah “cara pandang persatuan dan kesatuan bangsa yang diikat oleh konsensus dasar berupa Ideologi Pancasila, UUD 1945, idea Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”, pada hakikatnya merupakan elemen (psychological-institution) penting dalam Ketahanan Nasional Bangsa Indonesia. Wawasan Kebangsaan sudah teruji dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara Indonesia, baik dalam menghadapi segala bentuk ancaman keamanan internal maupun eksternal yang membahayakan kemerdekaan, integritas teritorial maupun kedaulatan negara.

Sementara ”Nasionalisme” dalam arti luas adalah “paham tentang kesadaran berbangsa serta kesetiaan kepada kepentingan bangsa”. Untuk mengikat kesatuan dan menjamin kelestarian bangsa, nasionalisme merupakan paham dan semangat yang mutlak diperlukan. Tanpa nasionalisme, eksistensi suatu bangsa akan kehilangan ”roh”nya. Secara historis nasionalisme memberikan pengaruh yang sangat kuat pada perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia. Dari optik Keindonesiaan, negara-bangsa Indonesia yang sangat plural secara multidimensional – agama, ras, suku bangsa, adat-istiadat, sosial budaya, ekonomi dan demografis disertai postur geografis yang arkipelagis – tentu sangat membutuhkan kehadiran nasionalisme yang kuat dan mengakar dalam sanubari setiap anak bangsanya.

Sedangkan ”Patriotisme” adalah “paham dalam mencintai/membela tanah-air”. Semangat mencintai dan membela tanah air membuat seseorang menjadi pejuang yang kokoh, gigih dan tanpa pamrih. Indonesia yang besar, kaya sumber daya alam, memiliki letak strategis dan bercirikan pluriformitas yang amat lebar sangat perlu dikawal oleh patriotisme anak bangsanya.

Bhinneka Tunggal Ika – Tanhana Dharma Mangrva”, adalah semboyan yang termaktub dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang berarti “berbeda-beda/majemuk tapi satu tujuan – tiada kebenaran yang mendua”. Bagian pertama dijadikan sesanti nasional, tercantum pada lambang negara Garuda Pancasila. Selengkapnya sesanti tersebut mengajarkan bahwa keanekaragaman atau pluralitas adalah kenyataan, maka hidup harmonis dalam pluralitas adalah satu-satunya kunci menuju tercapainya persatuan dan kesatuan nasional yang hakiki. Keberhasilan bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasionalnya, sangat tergantung pada kemampuan membina dan mengelola kebhinnekaan tersebut.

Pertanyaan besarnya kini, bagaimana upaya revitalisasi dan reaktualisasi itu digulirkan justru ketika nilai-nilai Pancasila sudah terdistorsi??? Dan bagaimana pula pentahapannya? Hemat saya, langkah awal yang penting dan strategis adalah melakukan ”Konsolidasi Keindonesiaan”. Untuk melakukan pekerjaan akbar tersebut mau tidak mau harus pula menyentuh kaji ulang terhadap UUD 1945 hasil amandemen serta revisi sejumlah Perundang-undangan, karena sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa dan semangat Mukadimah UUD 1945 yang berarti pula sudah tidak lagi memihak pada rakyat Indonesia dan Kepentingan Nasional, melainkan pada kepentingan asing khususnya kepentingan korporasi multinasional. Sekedar contoh kecil: UUD hasil amandemen yang mengebiri peran MPR, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang memberi kesempatan pada modal asing untuk menggunakan lahan sampai ratusan ribu hektar dengan Hak Guna Usaha (HGU) sampai 95 tahun dan dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun serta dapat diperbaharui selama 35 tahun, ini berarti mereka bisa menguasainya selama 190 tahun. Contoh lainnya adalah Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang pada prinsipnya telah mengkomersialisasikan Pendidikan Nasional serta memberikan akses terlalu lebar bagi masuknya modal asing dalam dunia pendidikan. Dengan regulasi seperti itu niscaya sulit bagi bangsa Indonesia untuk menumbuh-kembangkan kembali Pancasila dan nilai-nilai Keindonesiaan serta mengawal kepentingan nasional.

Langkah berikutnya adalah menjadikan pembangunan sektor budaya menjadi ”Leading Sector” dalam pembangunan nasional. Dalam konteks ini pembenahan sistem pendidikan nasional (sisdiknas) mutlak harus dilakukan, sisdiknas harus menjadi penjuru dalam pembangunan karakter bangsa (Character building), moto ”pendidikan berbasis kompetensi” perlu dikoreksi menjadi ”pendidikan berbasis karakter dan kompetensi”. Selanjutnya pembangunan dan penegakan hukum juga harus menjadi prioritas utama guna membersihkan virus KKN dan menegakkan disiplin nasional, karena disiplin juga harus menjadi salah-satu ciri atau identitas bangsa.

Reformasi Parpol dan Birokrasi merupakan keharusan dalam rangka pembangunan karakter dan jatidiri bangsa, karena Parpol memiliki fungsi rekrutmen atau kaderisasi pemimpin bangsa yang nantinya akan membuat kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat daerah maupun nasional. Sedangkan birokrasi bertugas melakukan eksekusi terhadap kebijakan-kebijakan tadi. Sehingga para pemimpin dan anggota kedua lembaga tersebut harus berkarakter dan menjadi teladan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Penutup

Demikian kontemplasi sejenak tentang nilai-nilai Kebangsaan serta Pancasila yang seharusnya digunakan sebagai instrumen yang memberi arah, pedoman bagi kehidupan berbangsa-bernegara serta penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Semoga tulisan singkat ini dapat mencapai tujuannya yaitu menyegarkan kembali semangat, nasionalisme, patriotisme serta menyentakkan kesadaran dan tanggungjawab moral kita akan pekerjaan akbar serta strategis-visioner yaitu ”Nation and Character Building” dan pembangunan Jatidiri Bangsa Pancasila yang selama ini terabaikan.

No comments:

Post a Comment