Wednesday, December 5, 2007

Aceh: Kondisi Darurat yang Perlu Tanggap-Segera!

Tanggapan terhadap Marco Kusumawijaya

BENCANA mahadahsyat gempa bumi disertai tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara merupakan tragedi alam yang menyentuh nurani manusia manapun dan mengundang simpati lintas-bangsa, lintas-budaya, lintas-agama, lintas-kepentingan yang berbaur menjadi satu muatan: pro-kemanusiaan. Begitu beratnya dampak yang ditimbulkan baik secara material maupun immaterial terutama korban jiwa, sehingga uluran tangan berdatangan dari mana-mana termasuk dunia internasional.

Kalau komunitas internasional saja tergerak untuk membantu humanitarian relief bagi masyarakat Aceh-Sumut – dari dukungan fisik-teknis (termasuk pengerahan militer dan relawan sipil) hingga sokongan dana – yang berskala besar, maka niscaya kita anak bangsa sendiri mestinya lebih terangsang untuk membantu apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan masyarakat yang tertimpa bencana.

Kondisi Aceh pasca bencana merupakan “realitas abnormal” dalam arti sesungguhnya, yang secara analogis dapat diibaratkan dengan kondisi pasien gawat-darurat (emergency) yang perlu ditangani dengan tindakan medis yang bersifat emergency pula. Kondisi darurat semacam itu membutuhkan langkah therapi yang bersifat darurat pula tanpa meninggalkan norma – yang lazim ditatalaksanakan dalam kondisi normal – terlalu jauh. Memandang, menganggap dan mengambil langkah secara “normal” terhadap suatu kondisi “abnormal” atau gawat-darurat dapat – atau bahkan sudah – merupakan sebagian dari kesalahan malah kegagalan dalam pendekatan terhadap masalah.

Dialog RI-GAM: Menjaga atau Mencederai Momentum?

SEMENTARA sebagian besar energi dan pikiran – tentu saja juga, dana dan sumber daya lainnya -- bangsa kita tengah diarahkan dan bakal tercurahkan lebih banyak lagi untuk proses dan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Sumut pasca bencana, kita dihadapkan (sekali lagi) dengan semacam “ujian politik” ini: berunding dengan GAM. Mulanya ujian politik ini diharapkan dapat dilewati dengan baik (dan berhasil!) agar tidak mengulangi kekeliruan terdahulu yang justru telah menciptakan ruang bagi rekonsolidasi dan pemerkuatan diri secara amat signifikan bagi GAM baik dalam posisi-tawar politis maupun kekuatan bersenjatanya.

Namun, seperti diwartakan media massa nasional termasuk harian ini (KOMPAS, 31/1) pertemuan yang akhirnya berlangsung di Finlandia itu disinyalir gagal atau tidak memenuhi harapan semula dalam kerangka mencapai solusi bagi masalah Aceh secara damai, tuntas, langgeng dan bermartabat dengan catatan penting: tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRRI).

Friday, November 30, 2007

Ada “Apa” dengan (Amandemen) Konstitusi?

Ada “Apa” dengan (Amandemen) Konstitusi?

Belakangan ini berkembang diskusi dinamis seputar konstitusi kita (UUD 1945) akibat adanya seruan kritis(-korektif) terhadap amandemen UUD 45. Beberapa poin dari kolom Catatan Pinggir Goenawan Mohamad (GM) bertajuk “Konstitusi” (Majalah Tempo, 4/2, hal. 130) perlu diklarifikasi, tidak dalam bingkai polemik yang kontra-produktif dan cenderung mengaburkan substansi persoalan. Kita ingin berdialog secara jernih dengan pikiran rasional dan nurani yang bening.

GM benar bahwa konstitusi bukan wahyu dan bangsa ini adalah himpunan manusia yang konkret. Para purnawirawan pun melihat UUD 45 bukan sebagai “benda keramat yang tidak boleh diutak-atik. Secara otentik, UUD 45 yang disusun PPKI memang bersifat sementara dan seharusnya dalam waktu enam bulan setelah terbentuk, MPR harus segera bersidang untuk menetapkan UUD yang sesungguhnya. Akan tetapi makna hakiki dan spirit dasar yang terkandung dalam preambul sudah merupakan visi, idealisme dan tujuan nasional yang rasional dan realistis, sesuai dengan kondisi fisik negeri ini serta faktisitas bangsa Indonesia yang serba pluriform pada berbagai dimensi. Atas dasar premis tersebut, seluruh komponen bangsa diikat oleh komitmen dan konsesus bersama bahwa nilai-nilai dasar – yang disebut Pancasila – merupakan ‘monumen abadi’ meski tetap dan harus bersifat terbuka bagi (re-)interpretasi dan reaktualisasi terus-menerus.

Namun kami tidak sepakat dengan GM bahwa konstitusi kita “datang dari sebuah ketidakjelasan”. UUD 45 merupakan buah historis yang realistis-visioner dari proses pergulatan panjang bangsa ini yang dimotori para pejuang dan pionir yang kita kenal sebagai founding fathers– yang oleh GM ‘diragukan’: “…siapa pula yang menentukan mereka bahwa mewakili rakyat Indonesia.” Tentu saja ini mudah dijawab bahwa mereka bertindak atas nama diri mereka sendiri namun dengan semangat “pars pro toto”, mewakili seluruh rakyat yang mereka perjuangkan.

Mungkin GM menuangkan kegerahannya dalam artikel tersebut sebagai reaksi (over-)kritis terhadap satu-dua purnawirawan – entah karena motif pribadi atau semata terseret oleh permainan para ‘provokator politik’ – yang belakangan bergerak di medan politik praktis dengan slogan ‘cabut mandat’ atau ‘revolusi nurani’ dan sebagainya. Perlu diluruskan bahwa sejatinya para purnawirawan tidak setuju dengan langkah inkonstitusional apapun. Jenderal (purn) Try Sutrisno pun membantah dirinya ikut menyerukan ‘cabut mandat’. Seruan atau aksi para/sebagian purnawirawan mengenai konstitusi samsekali tidak dalam pigura kekuasaan melainkan hendaknya ditangkap dalam konteks kepedulian terhadap permasalahan bangsa.

Kami sepakat bahwa amandemen merupakan keniscayaan agar derap langkah bangsa ini tidak terkungkung oleh “bunyi teks yang terbatas” dari suatu naskah konstitusi melainkan senantiasa hidup dalam “ruang makna kontekstual” dari suatu teks yang lahir pada era lampau. Akan tetapi kendati kami sepakat bahwa jalan dan cara dapat berubah sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan strategis atau pergerakan waktu yang dinamis, namun seyogianya kita tidak menjauhi apalagi bertentangan dengan spirit dasar dan arah pencapaian tujuan nasional.

Dalam konteks inilah, menurut kami hasil amandemen UUD 45 yang sekarang ini sudah jauh melenceng dari semangat dasar preambulnya. Misalnya, dari segi fungsi politik penyelenggaraan pemerintahan, sangat sulit atau bahkan tidak mungkin terbentuk pemerintah yang kuat dan stabil dalam kerangka pencapaian tujuan nasional, apalagi di era sistem multipartai dengan tingkat kedewasaan politik yang masih dalam tahap pembelajaran termasuk bagi kaum elitenya. Demikian pula dengan raibnya GBHN membuat bangsa ini kehilangan kompas/instrumen dalam upaya pencapaian cita-citanya.

Sekadar perbandingan, konstitusi Amerika Serikat pun memiliki ‘Introduksi’ (preambul singkat) yang mengandung makna hakiki, spirit dasar dan cita-cita nasionalnya yang menjiwai seluruh batang tubuh. Sebanyak 27 kali amandemen dengan adendum dilakukan AS tanpa keluar dari spirit dasar tersebut. Bahkan batang tubuh konstitusi AS pun tidak diubah! Mereka memelihara otentisitas dan orisinalitas kandungan makna secara tekstual sambil terus melakukan interpretasi dan reaktualisasi secara kontekstual atas naskah konstitusinya.

Catatan kecil buat saudaraku GM. Para jenderal purnawirawan rata-rata berusia 58 hingga 80-an tahun saat ini. Pada hakikatnya mereka adalah (mantan) prajurit yang mengangkat sumpah untuk membaktikan jiwa raganya bagi eksistensi republik ini. Sebagian rekan gugur di berbagai palagan tempur dan penugasan, dan mereka kebetulan beruntung masih hidup di negeri tercinta ini. Dengan rentangan usia di atas, sulit diandaikan mereka berhasrat untuk berkuasa/merebut kekuasaan atau intensi personal lainnya, dan para purnawirawan yang bersuara soal amandemen ini de facto tidak lagi memiliki ‘libido politik’ atau haus kekuasan. Namun karena mereka dibentuk dan pernah disumpah untuk rela mati bagi bangsa-negaranya, tentu mereka ikut terpanggil manakala bangsa ini menghadapi masalah.

GM menulis bahwa “amandemen konstitusi datang bukan dari langit, melainkan dari marah dan kepedihan”. Berbeda dengan “UUD 45 yang dirumuskan di gedung yang tenang…”. Ini semacam ‘fallacia’, ‘contradictio in terminis’. Celakalah kita kalau amandemen dilakukan hanya karena dorongan emosional, bukan rasionalitas. Justru harusnya proses politik seperti apapun harus dilakukan dengan tenang, jernih dan bening dalam “cuaca rasionalitas yang bersahabat”, bukan dalam suasana “banjir” emosi dan kemarahan sesaat.

Apalagi dalam proses pembelajaran berdemokrasi, seyogianya kita menghindari ekspresi ide dan ‘rasa’ secara sarkastis. Kita boleh dan perlu tajam tapi bukan kasar. Ciri demokrat sejati adalah apresiatif dan respek terhadap orang lain, toleran terhadap pluriformitas (termasuk perbedaan pandangan) dan egaliter. Harusnya kultur (mindset) demokratis inilah yang dibangun, termasuk oleh GM sebagai ‘demokrat’.

Mari kita sesuaikan UUD 45 sejalan dengan perkembangan zaman, tapi tanpa meninggalkan spirit asli dan tujuan nasional.

Monday, October 15, 2007

STRATEGI PEMBANGUNAN BUDAYA NASIONAL

Oleh: Kiki Syahnakri

Bung Karno kerap mengatakan, pembangunan nasional bermakna pembangunan bangsa dan karakter bangsa (nation and character building). Demikian pula Wage Rudolf Supratman dalam lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Cupllikan lirik ini mengandung kearifan dan panduan bagi proses pembangunan nasional. Dua aspek yang berkaitan erat, tidak dapat dipisahkan, dan harus dibangun berkeseimbangan, yaitu jiwa dan badan.

Yang dimaksud dengan jiwa oleh WR Supratman dapat diinterpretasikan sebagai “budaya bangsa”, sedangkan badan merupakan sistem dan struktur dari berbagai aspek, seperti politik, ekonomi, hukum, dan pertahanan. Juga pasti bukan sebuah kebetulan kalau pembangunan jiwa dinyatakan lebih dulu daripada pembangunan badan, bukan sebaliknya.

Dalam proses pembangunan atau transformasi, masalah akan muncul manakala pembangunan antara jiwa dan badan tak seimbang. Penekanan yang berlebihan pada jiwa tanpa memerhatikan badan berakibat pada mubazirnya hasil pembangunan, yaitu budaya bangsa yang sudah baik. Dalam arti, tidak dapat diimplementasikan dalam mekanisme kehidupan sosial bahkan bisa terkikis atau melorot kembali.

Sebaliknya, jika perhatian terlalu dipusatkan pada pembangunan badan dan kurang perhatian pada jiwa, akan menyuburkan materialisme, hedonisme, korupsi, fanatisme golongan yang mengedepankan kepentingan kelompok jangka pendek bahkan kepentingan perorangan, serta orientasi kekuasaan yang berlebihan. Akibatnya, akan banyak energi dihabiskan bagi perbedaan pendapat bahkan konflik.

Diskursus di atas menggambarkan pentingnya pembangunan jiwa atau budaya bangsa dalam proses pembangunan nasional. Diletakkannya kata jiwa mendahului badan mengandung arti bahwa pembangunan budaya harus diprioritaskan atau diletakkan di atas kepentingan pembangunan aspek lainnya.

Konsep strategi

Pembangunan budaya bangsa harus diarahkan pada satu tujuan yang menjadi cita-cita nasional, yaitu tatanan yang mengandung nilai, paradigma, dan perilaku kolektif unggul. Semua itu harus membudaya dalam kehidupan bangsa sedemikian rupa sehingga menjadi “jati diri bangsa”. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah jati diri yang harus dituju dalam proses pembangunan budaya bangsa, yaitu tatanan masyarakat/ bangsa yang “religius, apresiatif terhadap nilai kemanusiaan, nasionalis, demokratis, adil dan makmur”.

Untuk menentukan strategi yang tepat dalam pencapaian tujuan, terlebih dulu harus dipahami budaya yang berkembang di kalangan bangsa Indonesia, khususnya yang menjadi keunggulan dan kelemahannya. Dalam konteks ini, apabila keita mengacu pada nilai yang terkandung dalam mukadimah UUD 1945, maka dapat dipahami bahwa “kekeluargaan, gotong royong, musyawarah-mufakat, dan toleransi” merupakan keunggulan bangsa.

Para founding fathers menjadikannya sebagai nilai yang harus diacu dalam kehidupan bernegara-berbangsa dan bermasyarakat. Nilai tersebut digali dari kearifan lokal yang sudah lama berkembang di berbagai kalangan masyarakat di Nusantara. Toleransi, misalnya, dapata dikatakan semua kalangan masyarakat Nusantara memiliki toleransi tinggi. Oleh karena itu, ketika agama Buddha, Hindu, Islam, dan Kristen masuk ke Nusantara, sangat sedikit (kalau tidak dapat dikatakan nihil) terjadinya gejolak. Tidak seperti di Eropa atau Timur Tengah yang tiada henti dilanda konflik bahkan perang dengan latar belakang agama.
Namun, dampak dari berkembangnya liberalisme-individualisme, di Indonesia berkembang pula materialisme, hedonisme, dan pragmatisme sehingga toleransi pun terkikis bahkan di beberapa tempat hampir punah. Maka tak heran kalau dalam dekade terakhir berkembang anarkisme yang di beberapa daerah, seperti Ambon dan Sulteng, terjadi konflik yang menelan banyak korban.

Begitu juga dengan kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah-mufakat. Hal itu sudah berabad-abad hadir menjadi jati diri masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Karena itu, tercipta persaudaraaan, keamanan, kedamaian, keadilan, dan kemakmuran.

Untuk memahami kelemahan bangsa, kita perlu mengacu pendapat Profesor Koentjaraningrat. Ia mengatakan, ciri negatif budaya kita antara lain feodal, rendah diri, malas, munafik, dna suka mencari “kambing hitam”. Karena itu, berkembangnya liberalisme dan individualisme sangat mempengaruhi aspek kelemahan bangsa.

Hanya, kalau yang terjadi pada aspek keunggulan adalah “erosi”, sebaliknya pada aspek kelemahan justru terjadi “promosi”. Sebagai contoh, feodalisme yang berujung pada “ status sosial”, yaitu diperolehnya kedudukan dan materi, justru terpromosi. Akibatnya, perkembangan budaya bangsa dari era ke era diwarnai oleh tumbuhnya KKN, nafsu berburu kedudukan, kekuasaan, dan materi. Terlebih pada era reformasi di mana kebebasan dan demokratisasi dipromosi tanpa rambu-rambu yang memadai dan tanpa melihat realita di masyarakat.

Berdasar pada pemikiran itu, maka konsep strategi pembangunan budaya nasional adalah “upaya mengangkat aspek keunggulan dan mengeliminasi aspek kelemahan bangsa”. Caranya, membenahi dan membangun “sistem pendidikan, sistem informasi, dan sistem hukum”.

Sasaran antara atau jangka pendek upaya ini adalah terbentuknya “nasionalisme, disiplin, etos kerja, dan meritokrasi” dikalangan masyarakat. Dengan disiplin, etos kerja dan meritokrasi yang baik akan diperoleh kelancaran dan percepatan dalam proses selanjutnya.

Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan kunci keberhasilan pembangunan budaya bangsa. Karena itu diperlukan kepemimpinan yang kuat, bersih, berani mengambil keputusan dan risiko, serta teladan. Dengan kata lain, kepemimpinan yang berkarakter. Keberhasilan Amerika, China, Malaysia, dan Singapura dalam proses pembangunan nasionalnya adalah sebagian besar karena kepemimpinan yang berkarakter.

Oleh karena itu, dalam proses pembangunan budaya bangsa, para pemimpin pada setiap lini dituntut terlebih dulu memiliki karakter dan mampu menjadi teladan. Leadership is influence and character is power” (Maxwell), karenanya tidak pernah ada keberhasilan tanpa kepemimpinan yang berkarakter.

Terlebih lagi menghadapi kondisi negara dan bangsa Indonesia kini yang ditandai oleh berkembangnya separatisme, konflik politik dan etnik. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan kualitas kepemimipinan yang berkarakter dan harus mampu menjadi perekat masyarakat/ bangsa. Janganlah kita bermimpi dnegan motto “bersama kita bisa”, tetapi terlebih dulu harus mampu membuktikan (kembali) bahwa “ kita bisa bersama” seperti yang pernah terjadi pada 1928 dan 1945.

Hanya dengan kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong royong, bangsa ini akan berhasil sampai pada tujuan nasionalnya. Sebaliknya, liberalisme-individualisme tidak pas bagi Indonesia yang ekstra bhineka. Oleh karena itu, kembali pada Pancasila dan platform kenegaraan seperti yang diamahkan dalam mukadimah UUD 1945 merupakan bagian utama dari strategi pembangunan budaya bangsa.

Thursday, October 11, 2007

Indonesia 2020

Solidaritas

Dari Rakyat, oleh Rakyat, untuk Rakyat

Think Globally, Act Locally

Dimana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung

Semangat Satu Bangsa

Tanah Airku