Ada “Apa” dengan (Amandemen) Konstitusi?
GM benar bahwa konstitusi bukan wahyu dan bangsa ini adalah himpunan manusia yang konkret. Para purnawirawan pun melihat UUD 45 bukan sebagai “benda keramat yang tidak boleh diutak-atik. Secara otentik, UUD 45 yang disusun PPKI memang bersifat sementara dan seharusnya dalam waktu enam bulan setelah terbentuk, MPR harus segera bersidang untuk menetapkan UUD yang sesungguhnya. Akan tetapi makna hakiki dan spirit dasar yang terkandung dalam preambul sudah merupakan visi, idealisme dan tujuan nasional yang rasional dan realistis, sesuai dengan kondisi fisik negeri ini serta faktisitas bangsa Indonesia yang serba pluriform pada berbagai dimensi. Atas dasar premis tersebut, seluruh komponen bangsa diikat oleh komitmen dan konsesus bersama bahwa nilai-nilai dasar – yang disebut Pancasila – merupakan ‘monumen abadi’ meski tetap dan harus bersifat terbuka bagi (re-)interpretasi dan reaktualisasi terus-menerus.
Namun kami tidak sepakat dengan GM bahwa konstitusi kita “datang dari sebuah ketidakjelasan”. UUD 45 merupakan buah historis yang realistis-visioner dari proses pergulatan panjang bangsa ini yang dimotori para pejuang dan pionir yang kita kenal sebagai founding fathers– yang oleh GM ‘diragukan’: “…siapa pula yang menentukan mereka bahwa mewakili rakyat Indonesia.” Tentu saja ini mudah dijawab bahwa mereka bertindak atas nama diri mereka sendiri namun dengan semangat “pars pro toto”, mewakili seluruh rakyat yang mereka perjuangkan.
Mungkin GM menuangkan kegerahannya dalam artikel tersebut sebagai reaksi (over-)kritis terhadap satu-dua purnawirawan – entah karena motif pribadi atau semata terseret oleh permainan para ‘provokator politik’ – yang belakangan bergerak di medan politik praktis dengan slogan ‘cabut mandat’ atau ‘revolusi nurani’ dan sebagainya. Perlu diluruskan bahwa sejatinya para purnawirawan tidak setuju dengan langkah inkonstitusional apapun. Jenderal (purn) Try Sutrisno pun membantah dirinya ikut menyerukan ‘cabut mandat’. Seruan atau aksi para/sebagian purnawirawan mengenai konstitusi samsekali tidak dalam pigura kekuasaan melainkan hendaknya ditangkap dalam konteks kepedulian terhadap permasalahan bangsa.
Kami sepakat bahwa amandemen merupakan keniscayaan agar derap langkah bangsa ini tidak terkungkung oleh “bunyi teks yang terbatas” dari suatu naskah konstitusi melainkan senantiasa hidup dalam “ruang makna kontekstual” dari suatu teks yang lahir pada era lampau. Akan tetapi kendati kami sepakat bahwa jalan dan cara dapat berubah sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan strategis atau pergerakan waktu yang dinamis, namun seyogianya kita tidak menjauhi apalagi bertentangan dengan spirit dasar dan arah pencapaian tujuan nasional.
Dalam konteks inilah, menurut kami hasil amandemen UUD 45 yang sekarang ini sudah jauh melenceng dari semangat dasar preambulnya. Misalnya, dari segi fungsi politik penyelenggaraan pemerintahan, sangat sulit atau bahkan tidak mungkin terbentuk pemerintah yang kuat dan stabil dalam kerangka pencapaian tujuan nasional, apalagi di era sistem multipartai dengan tingkat kedewasaan politik yang masih dalam tahap pembelajaran termasuk bagi kaum elitenya. Demikian pula dengan raibnya GBHN membuat bangsa ini kehilangan kompas/instrumen dalam upaya pencapaian cita-citanya.
Sekadar perbandingan, konstitusi Amerika Serikat pun memiliki ‘Introduksi’ (preambul singkat) yang mengandung makna hakiki, spirit dasar dan cita-cita nasionalnya yang menjiwai seluruh batang tubuh. Sebanyak 27 kali amandemen dengan adendum dilakukan AS tanpa keluar dari spirit dasar tersebut. Bahkan batang tubuh konstitusi AS pun tidak diubah! Mereka memelihara otentisitas dan orisinalitas kandungan makna secara tekstual sambil terus melakukan interpretasi dan reaktualisasi secara kontekstual atas naskah konstitusinya.
Catatan kecil buat saudaraku GM. Para jenderal purnawirawan rata-rata berusia 58 hingga 80-an tahun saat ini. Pada hakikatnya mereka adalah (mantan) prajurit yang mengangkat sumpah untuk membaktikan jiwa raganya bagi eksistensi republik ini. Sebagian rekan gugur di berbagai palagan tempur dan penugasan, dan mereka kebetulan beruntung masih hidup di negeri tercinta ini. Dengan rentangan usia di atas, sulit diandaikan mereka berhasrat untuk berkuasa/merebut kekuasaan atau intensi personal lainnya, dan para purnawirawan yang bersuara soal amandemen ini de facto tidak lagi memiliki ‘libido politik’ atau haus kekuasan. Namun karena mereka dibentuk dan pernah disumpah untuk rela mati bagi bangsa-negaranya, tentu mereka ikut terpanggil manakala bangsa ini menghadapi masalah.
GM menulis bahwa “amandemen konstitusi datang bukan dari langit, melainkan dari marah dan kepedihan”. Berbeda dengan “UUD 45 yang dirumuskan di gedung yang tenang…”. Ini semacam ‘fallacia’, ‘contradictio in terminis’. Celakalah kita kalau amandemen dilakukan hanya karena dorongan emosional, bukan rasionalitas. Justru harusnya proses politik seperti apapun harus dilakukan dengan tenang, jernih dan bening dalam “cuaca rasionalitas yang bersahabat”, bukan dalam suasana “banjir” emosi dan kemarahan sesaat.
Apalagi dalam proses pembelajaran berdemokrasi, seyogianya kita menghindari ekspresi ide dan ‘rasa’ secara sarkastis. Kita boleh dan perlu tajam tapi bukan kasar. Ciri demokrat sejati adalah apresiatif dan respek terhadap orang lain, toleran terhadap pluriformitas (termasuk perbedaan pandangan) dan egaliter. Harusnya kultur (mindset) demokratis inilah yang dibangun, termasuk oleh GM sebagai ‘demokrat’.
Mari kita sesuaikan UUD 45 sejalan dengan perkembangan zaman, tapi tanpa meninggalkan spirit asli dan tujuan nasional.
No comments:
Post a Comment