Wednesday, December 5, 2007

Dialog RI-GAM: Menjaga atau Mencederai Momentum?

SEMENTARA sebagian besar energi dan pikiran – tentu saja juga, dana dan sumber daya lainnya -- bangsa kita tengah diarahkan dan bakal tercurahkan lebih banyak lagi untuk proses dan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Sumut pasca bencana, kita dihadapkan (sekali lagi) dengan semacam “ujian politik” ini: berunding dengan GAM. Mulanya ujian politik ini diharapkan dapat dilewati dengan baik (dan berhasil!) agar tidak mengulangi kekeliruan terdahulu yang justru telah menciptakan ruang bagi rekonsolidasi dan pemerkuatan diri secara amat signifikan bagi GAM baik dalam posisi-tawar politis maupun kekuatan bersenjatanya.

Namun, seperti diwartakan media massa nasional termasuk harian ini (KOMPAS, 31/1) pertemuan yang akhirnya berlangsung di Finlandia itu disinyalir gagal atau tidak memenuhi harapan semula dalam kerangka mencapai solusi bagi masalah Aceh secara damai, tuntas, langgeng dan bermartabat dengan catatan penting: tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRRI).


Sebenarnya menurut hemat saya, sebagai pemerintah dari sebuah negara yang berdaulat Pemerintah RI seyogianya dari awal bersikap tegas-jelas dengan menolak perundingan dilakukan di negara manapun kecuali di Indonesia, serta dengan syarat bisa membicarakan apapun tentang nasib dan masa depan Aceh tetapi di luar kerangka kepentingan agenda pemerdekaan Aceh seperti yang dikehendaki GAM terutama dari kelompok “idealis-ideologis”.

***

Sebagaimana pernah disinggung dalam artikel saya dahulu di harian ini, GAM setidaknya terdiri dari tiga kelompok yakni, pertama, kelompok “idealis-idelogis” yang menghendaki terlepasnya Aceh menjadi negara merdeka. Kelompok ini tentu saja lebih radikal, sulit diajak berkompromi atau menempuh jalan perundingan karena bagi mereka kemerdekaan merupakan “opsi tunggal”. Jumlah anggota kelompok ini tidak banyak (termasuk yang berada di Swedia) namun cukup militan sehingga daya survival mereka tinggi baik secara politis maupun militer.

Kedua, faksi GAM yang “realis”. Kelompok ini cenderung lebih moderat dan realistis sehingga dapat diajak untuk duduk semeja berunding membahas masalah Aceh secara damai. Namun secara kuantitatif jumlah faksi ini pun tidak besar sehingga daya pengaruhnya secara internal (kemampuan mempengaruhi kelompok-kelompok GAM lainnya) relatif kecil dan tidak powerful.

Ketiga, kelompok “kriminalis”. Secara terminologis istilah ini saya kenakan pada para anggota atau kelompok GAM yang secara ideologis sangat longgar alias tidak terikat pada cita-cita pembentukan Aceh Merdeka. Mereka adalah kelompok avonturistis, yang lebih “menikmati” periode kritis di Aceh selama ini sebagai kesempatan untuk melakukan berbagai aksi kriminal seperti ‘pemalakan’ (ada istilah penarikan “pajak Nanggroe”), pencurian, perampokan dan sebagainya. Jadi segala tindakan dan aksi mereka lebih bersifat ego-oriented semata-mata dengan motif ekonomis dan pemuasan diri sendiri.

Sejauh ini dari hasil pemantauan Koops TNI di lapangan tidak ada garis komando yang efektif dari pimpinan GAM Aceh kepada ketiga kelompok tersebut, demikian pula halnya dari pimpinan GAM di Swedia terhadap struktur GAM yang ada di Aceh. Sehingga berunding dengan pimpinan GAM yang ada di Aceh ataupun yang ada di luar negeri tidak dengan sendirinya identik berunding dengan GAM secara keseluruhan. Selain dari itu melakukan perundingan dengan kelompok idealis-ideologis rasanya tidak mungkin – untuk tidak mengatakan mustahil – kalau mereka bersikukuh dengan ide pemerdekaan Aceh di luar kerangka NKRI. Terlebih lagi jika perundingan tersebut diadakan di luar negeri (seperti di Finlandia saat ini) karena pertama, hal itu merupakan kehendak kelompok idealis GAM; kedua, dapat membawa Aceh kembali ke fora internasional (internasionalisasi masalah Aceh secara politis); ketiga, akan (berpotensi) membesarkan kembali GAM; keempat, (karena itu) akan membuat penderitaan rakyat Aceh terus berkepanjangan atau berlarut-larut.

Dialog dengan pihak GAM lebih mungkin kalau dilakukan dengan kelompok realis. Walaupun jumlah mereka tidak banyak dan pengaruhnya tidak terlampau kuat karena mungkin saja dialog ini akan menjadi titik tolak buat dialog yang lebih besar, memotivasi mereka yang ada pada kelompok kriminal, setidaknya akan berguna untuk mereduksi kekkuatan mereka. Dalam konteks ini, kita perlu menggali kembali potensi pendekatan sosio-kultural-religius dengan mengembangkan hubungan positif yang produktif dan jujur (tidak manipulatif) dengan para ulama yang tentu saja memiliki akar dan pengaruh secara lokal. Dengan menggali dan menggalang serta memanfaatkan segala potensi kearifan lokal seperti itu, kita justru lebih terbantu ketimbang mencari-cari jalan berundingan dengan pentolan GAM di luar negeri yang sebenarnya semakin lama kehilangan kepercayaan dari -- dan pengaruh terhadap -- rakyat Aceh sendiri.

Bagaimana dengan sikap kita terhadap kelompok kriminalis? Tentu saja dari kacamata hukum, tidak ada pendekatan lain selain langkah hukum-polisional yang dalam hal ini sebaiknya ditangani Polri dibantu TNI karena merekapun merupakan kelompok bersenjata yang terorganisir. Segala tindak pelanggaran hukum mulai dari lapis bawah hingga terutama level atas (sudah bagus bahwa Gubernur Puteh telah dikenai tindakan hukum) harus disikapi dan ditindak secara tegas sesuai hukum, agar menjadi bukti nyata bagi rakyat bahwa hukum sungguh berpihak pada mereka, bukan (cuma) penguasa seperti selama ini. Itulah salah satu cara untuk merebut kembali hati dan pikiran rakyat.

***

Berbicara tentang upaya merebut hati dan pikiran rakyat (how to win the hearts and minds of the people), sesungguhnya catatan dan data lapangan menunjukkan prestasi yang patut diapresiasi positif (tetapi seakan selalu “tersembunyi” bagi mata sebagian pengamat “kritis”). Dibandingkan hasil yang diraih selama fase Darurat Militer I dan II dan Darurat Sipil babak I, pencapaian pada bulan ke-4 sekarang ini memperlihatkan hasil yang jauh lebih menonjol, dengan indikator antara lain dari jumlah anggota GAM yang menyerahkan diri, personel GAM yang ditangkap, jumlah pucuk senjata yang disita. Poin terpentingnya, delapan puluh persen pencapaian itu dapat diraih karena bantuan rakyat (misalnya karena informasi/laporan dan panduan penduduk dsb).

Pencapaian positif yang termanifestasi baik dari segi keamanan, ekonomi maupun terutama (karena merupakan basis atau akar) kepercayaan rakyat merupakan modal yang seyogianya dipelihara atau dijaga momentumnya, yaitu dengan cara melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca-bencana dengan jujur, penuh tanggung jawab dan berhasil di atas landasan akuntabilitas dan transparansi. Dengan kata lain, kondisi Aceh pasca-tsunami merupakan peluang emas (golden opportunity) untuk meningkatkan kepercayaan rakyat dalam rangka merebut kembali hati dan pikiran mereka.

***

Seperti pernah saya tuangkan dalam artikel di harian ini, kasus seperti pemberontakan bersenjata di Aceh tidak akan bisa diselesaikan di ujung bayonet (pendekatan militer) melainkan harus dihampiri dari berbagai dimensi secara utuh-padu.

Dari perspektif inilah, saya merekomendasikan agar: pertama, kita menghindarkan perundingan dengan GAM di luar negeri (apalagi dengan faksi GAM idealis yang tidak punya pengaruh langsung dan rentang komando ke bawah); kedua, perundingan atau langkah diplomasi memang harus dilakukan tetapi selalu dalam kerangka NKRI; pembicaraan tentang Aceh dapat difokuskan pada masalah amnesty dan bagaimana mengoptimalkan upaya membangun kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat sesuai kapasitas wilayah dan potensi lokalnya; berkaitan dengan itu dalam substansi materi perundingan dengan GAM antara lain dapat dikembangkan pertanyaan apa yang mereka inginkan jika kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Sebutlah, ada yang mungkin dapat menjadi anggota TNI, bekerja di perkebunan dsb sesuai kemungkinan dan peraturan yang ada.

Mudah-mudahan sebuah jalan baru yang lebih baik dapat terbentang bagi rakyat Aceh pasca-bencana ini, dengan melanjutkan upaya-upaya positif-konstruktif yang telah dimulai, sambil menghindari kemungkinan memilih jalan yang berpotensi merusak kredibilitas Pemerintah RI di satu sisi dan kepercayaan rakyat Aceh di sisi lain.

No comments:

Post a Comment