Tanggapan terhadap Marco Kusumawijaya
BENCANA mahadahsyat gempa bumi disertai tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara merupakan tragedi alam yang menyentuh nurani manusia manapun dan mengundang simpati lintas-bangsa, lintas-budaya, lintas-agama, lintas-kepentingan yang berbaur menjadi satu muatan: pro-kemanusiaan. Begitu beratnya dampak yang ditimbulkan baik secara material maupun immaterial terutama korban jiwa, sehingga uluran tangan berdatangan dari mana-mana termasuk dunia internasional.
Kalau komunitas internasional saja tergerak untuk membantu humanitarian relief bagi masyarakat Aceh-Sumut – dari dukungan fisik-teknis (termasuk pengerahan militer dan relawan sipil) hingga sokongan dana – yang berskala besar, maka niscaya kita anak bangsa sendiri mestinya lebih terangsang untuk membantu apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan masyarakat yang tertimpa bencana.
Kondisi Aceh pasca bencana merupakan “realitas abnormal” dalam arti sesungguhnya, yang secara analogis dapat diibaratkan dengan kondisi pasien gawat-darurat (emergency) yang perlu ditangani dengan tindakan medis yang bersifat emergency pula. Kondisi darurat semacam itu membutuhkan langkah therapi yang bersifat darurat pula tanpa meninggalkan norma – yang lazim ditatalaksanakan dalam kondisi normal – terlalu jauh. Memandang, menganggap dan mengambil langkah secara “normal” terhadap suatu kondisi “abnormal” atau gawat-darurat dapat – atau bahkan sudah – merupakan sebagian dari kesalahan malah kegagalan dalam pendekatan terhadap masalah.
Tulisan Marco Kusumawijaya (TEMPO, 13 Februari 2005, hal. 90-91) pada satu sisi patut diapreasiasi sebagai salah satu wujud kepedulian bagi upaya rekonstruksi Aceh, setidaknya dari tataran ide(al), apalagi ia seorang Arsitek Tata Kota yang dari perspektif akademis kompeten untuk mengulas tentang “Ruang Aceh” (judul artikelnya). Memang dibutuhkan banyak pemikir untuk berkontribusi membantu mencari solusi yang tepat-jitu agar rakyat Aceh bisa secepatnya mengatasi kesulitan pasca-bencana. Sementara itu harus dihargai pula betapa tidak sedikit orang yang merespon masalah tidak lagi dari balik meja atau dari balik layar (komputer), melainkan langsung terjun menggumuli persoalan di lapangan dengan taruhan (sering dengan) nyawanya sendiri!
Pada sisi lain, tulisan Marco perlu ditanggapi karena tercermin lebih kental dipengaruhi pola pikir “ideal” ketimbang menghampiri persoalan darurat yang memerlukan langkah tanggap-segera di lapangan dengan pendekatan yang relatif lebih realistis. Sebutlah sebagai contoh, Marco mengritik bahkan menganggap Bupati Meulaboh “tidak mengerti tata ruang menyangkut hak dan kebijakan publik, karena itu harus disusun melalui proses publik”.
Secara ideal-normatif memang diperlukan “proses publik” untuk merancang dan melahirkan suatu kebijakan publik. Namun perlu diberi catatan tambahan yang tidak kurang pentingnya, bahwa proses publik itu dapat berjalan atau dilangsungkan secara normal dalam situasi-kondisi normal, sementara de facto sikon di Aceh (c.q. Meulaboh) sungguh-sungguh “abnormal” alias darurat. Abnormalitas Aceh dapat ditakar secara kuantitatif (jumlah korban jiwa, sarana/fasilitas yang hancur, infrastruktur yang lumpuh dan sebagainya) maupun kualitatif (merosotnya tingkat keamanan sosial dan ketenangan psikologis masyarakat, meningkatnya keresahan dan ketegangan bahkan ketakutan publik akan ketidakmenentuan nasib serta masa depan hidup, depresi mendalam atas hilangnya orang-orang tercinta dan lain sebagainya).
Catatan berikutnya, kebijakan publik itu pun harus menjadi produk politik yang dilegalisasi oleh otoritas politik (jadi tidak berhenti di titik “proses publik”). Hal ini dapat berarti proses publik itu tidak bersifat mutlak-mutlakan melainkan tidak lebih dari proses yang secara wajar memang harus dilalui manakala situasi dalam kondisi serba wajar dan normal. Namun dalam kondisi abnormal/darurat, seorang bupati sebagai pemegang otoritas politik dengan pertimbangan rasional-obyektif dan berlandaskan kepentingan rakyat yang reasonable dapat saja mengambil langkah-langkah darurat sambil tetap sedapat mungkin mengindahkan hukum dan norma yang berlaku (termasuk “proses publik” itu).
Dalam konteks ini – tentu saja sebagai informasi yang perlu disampaikan agar opini menjadi berimbang (bukan untuk membela sang Bupati karena saya tidak punya kepentingan setitik pun) – sikap dan tindakan Bupati Meulaboh perlu diapresiasi positif karena mengambil “langkah darurat dalam situasi darurat untuk tindak penyelamatan darurat”. Dalam kasus Meulaboh, DPRD secara institusional lumpuh (sebagian anggotanya ikut menjadi korban tsunami), padahal “general master plan” seperti yang diminta Bupati atau apapun namanya itu sangat diperlukan agar dapat segera melakukan langkah-langkah rehabilitasi dan rekonstruksi guna mengeluarkan masyarakat lokal dari himpitan masalah kemanusiaan.
Berkaca pada kasus Thailand, sebenarnya Pemerintah RI mesti belajar dari PM Thaksin yang dalam seminggu sudah mengeluarkan master plan untuk membangun/menata kembali kawasan Phuket. Mungkin dalam bingkai pemahaman seperti itulah, Bupati Meulaboh mengambil tindakan segera meski tanpa dukungan DPRD sebagai institusi, namun dengan berkonsultasi atau mengajak bicara beberapa anggota dan Ketua DPRD serta sejumlah tokoh masyarakat setempat, ia berani berinisiatif tanpa melangkahi aturan normatif untuk menyelamatkan situasi. Bantuan begitu banyak yang masuk, demikian pula negara-negara donor tidak sedikit jumlahnya yang berniat menyumbang, namun tanpa master plan yang disiapkan secara baik dalam tempo segera, bagaimana mengakomodasi semuanya itu dalam kerangka rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah – sekali lagi dalam situasi yang serba darurat dan butuh tindakan tanggap-segera?
“Posko Tata Ruang” yang ditawarkan Marco memang ideal untuk diterapkan kalau situasi tidak sedarurat Aceh, terutama Meulaboh dan Banda Aceh atau titik-titik yang jadi sasaran langsung terjangan tsunami dengan dampak destruktif yang luar biasa massifnya.
Secara pribadi saya pun perlu menanggapi salah satu poin dari isi tulisan Marco yang justru tidak relevan dan tidak koheren dengan substansi opininya. Pada paragraf keempat ia menulis, “Kabar ini dibenarkan oleh Jenderal (Purnawirawan) Kiki Syahnakri, seorang mantan komandan di Timor Timur yang kini berkhidmat di kelompok usaha Artha Graha…” Di sinilah letak irrelevansi dan inkoherensi secara substantif-logis dengan esensi opini yang diulasnya. Benar bahwa saya lama bertugas (ditugaskan oleh Negara) di Timor Timur, namun apakah itu relevan dan koheren dengan topik tulisan Marco? Sayang sekali tulisan yang dilandasi idealisme tersebut kurang didukung data/fakta akurat di lapangan bahkan cenderung dilatari/diwarnai prasangka buruk tentang orang/instansi lain sehingga justru menjauhkan muatan tulisan tersebut dari obyektivitas.
Kalimat “berkhidmat di kekompok usaha Artha Graha” tak terelakkan sangat kuat membersitkan kesan sinis-sarkastik, penuh prasangka dan secara absolut keliru. Betapa tidak, karena keberadaan saya di Bank Artha Graha sebagai Komisaris Utama samasekali tidak merepresentasikan Grup AG melainkan sebagai representasi TNI-AD lewat YKEP, sehingga saya berada di BAG karena ditugaskan dengan Surat Perintah KSAD (bukan Grup AG) mengingat TNI-AD memiliki 20 persen saham di Bank Artha Graha.
No comments:
Post a Comment