Monday, June 8, 2009

HAKIKAT PANCASILA BUKAN DEMOKRASI LIBERAL

Tanggapan terhadap Opini Christianto Wibisono

Secara pribadi Christianto Wibisono adalah sahabat saya, dan secara personal pula saya suka membaca tulisan-tulisan kritisnya dan mengapresiasi intelektualitas dan kecendekiawanannya. Namun kali ini saya tergerak untuk menanggap ulasan ‘hangat’nya di Suara Pembaruan (Senin, 1/6). Artikel yang amat mengagungkan liberalisme tersebut mengandung sejumlah poin yang perlu ditanggapi secara kritis pula, karena dalam pigura kebangsaan tampaknya memperlihatkan mispersepsi yang serius terhadap Pancasila sebagai platform kebangsaan dan kenegaraan kita.

Saya tidak menanggapi kerisauan, keprihatinan bahkan ‘peringatan’ kritis penulis terhadap para Capres-Cawapres yang saat ini gencar menawarkan berbagai ide dan visi besar – yang oleh Christianto dinilai sloganistis belaka – karena memang begitulah salah satu ruang yang dibuka lebar oleh “demokrasi liberal” bagi semua orang untuk melontarkan visi dan impiannya, besar atau kecil. Namun yang menjadi fokus dialog melalui tulisan ini adalah cara pandang atau sudut tafsir terhadap demokrasi liberal serta demokrasi ala Indonesia yang diberi nama “Demokrasi Pancasila” sesuai karakter, nafas, jiwa dan platform kebangsaan-kenegaraan kita yang telah diracik, dibangun dan diwariskan oleh para founding fathers/mothers.


Dalam perspektif ini, hendaknya kita perlu secara kritis namun positif memahami bahwa Pancasila merupakan ramuan pemikiran, pergulatan, pengalaman dan perjuangan panjang dari para bapak bangsa melalui - antara lain – pembelajaran dan membandingkannya dengan faham lain yang sudah berkembang secara global. Oleh karena itu, boleh saja Christianto membandingkan Pancasila dengan San Min Chu I, namun terlalu simplistis bila dikatakan Pancasila mengacu padanya. Oleh karenanya poin fundamental-esensial yang perlu difahami dan ditekankan adalah bahwa “muatan dasar” atau intisari pokok permenungan, pergulatan dan pengalaman para bapak bangsa dalam merumuskan Pancasila ialah “kandungan lokal” yang merupakan kristalisasi berbagai unsur, nilai, keyakinan, harapan, kearifan, kekuatan, kecerdasan dan sebagainya yang tersemai dan tersebar di berbagai budaya multiragam yang berkecambah dan tumbuh di ladang Nusantara, Bung Karno pun dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 sangat menekankan hal itu. Benar bahwa dunia dan manusia mempunyai aspek universal, maka adanya kesamaan atau keserupaan antara berbagai dasar/filosofi negara bukanlah suatu keanehan (seperti motto bangsa kita “Bhinneka Tunggal Ika” dengan ‘Ut Pluribus Unum’-nya Amerika Serikat), demikian pula dengan banyaknya kesamaan antar agama-agama karena memang banyak nilai religius yang bersifat universal. Namun perbedaan dan keanekaragaman juga hal yang kodrati, sehingga klaim bahwa Pancasila adalah jatidiri bangsa Indonesia bukan sloganistis tetapi realistis.

Kritik terhadap Neolib

Jika saya mengajak kita bersikap kritis terhadap Neoliberalisme, itu tidak ada hubungannya dengan salah satu pasangan yang dinilai sebagai penganut atau dikaitkan dengan Neolib. Saya tidak ingin terjebak dalam pergulatan dan wacana politik praktis yang kental dengan nafsu berburu kekuasaan, meski harus diakui masih banyak tokoh yang berpandangan, bertindak dan menggunakan kekuasaan sebagai sarana positif demi terwujudnya kepentingan umum atau kebaikan bersama (bonum commune). Itulah hakikat dan tujuan terbentuknya negara secara universal.

Namun, secara ideologis dan juga pragmatis kita perlu meneropong dengan tajam-jeli bahwa esensi dan ekspresi Neolib dengan segala sepak-terjangnya yang secara realistis-empiris justru bertentangan dengan hakikat dan nilai-nilai dasar Pancasila dalam banyak aspek. Pertama, Pancasila tidak bisa diidentikkan dengan falsafah Liberalisme, bukan saja tidak sama, melainkan bertentangan atau berhadapan secara kontradiktif. Liberalisme adalah anak kandung paham individualisme, sementara Pancasila lahir dari kolektifisme ala Indonesia yang mengusung dan mengamanatkan secara imperative nilai Kekeluargaan, Gotong-royong dan musyawarah-mufakat.

Kedua, Founding fathers/mothers menganggap liberalisme secara konsekuensional melahirkan Kapitalisme dan Kolonialisme, demikian pula kolektifisme ala Karl Marx dianggap menurunkan otoritarianisme sehingga keduanya tidak diadopsi. Sementara Pancasila menjunjung tinggi cita-cita dan watak perjuangan menuju keadilan dan kesejahteraan sosial serta bercorak anti-kolonialisme juga otoritarianisme. Jika cita-cita dan spirit dasar Pancasila belum berhasil terwujud atau diaktualisasikan demi bonum commune bangsa ini, yang harus dikritik dan disalahkan bukan Pancasila itu sendiri melainkan para pemimpin, pejabat dan penyelenggara negara yang lebih kuat dirasuki oleh egoisme, feodalisme, materalisme, hedonisme dan konsumtivisme, jauh dari semangat melayani, membagi dan memberi bagi bangsa-negara. Andaikan saja para pemimpin kita berani meninggalkan semangat primordial (partai/golongan/keluarga sendiri), menekan nafsu kekuasaan, berani mengatakan YA terhadap kebenaran, keadilan dan kejujuran serta TIDAK terhadap kesalahan dan kekeliruan (meski dengan risiko tidak popular bahkan kehilangan jabatan), maka implementasi Pancasila dipastikan akan lebih berhasil demi kepentingan “semua untuk semua” …

Ketiga, secara realistis obyektif tidak dapat dipungkiri dewasa ini tampak mulai rontok kedigdayaan Neolib/Kapitalisme, suatu hal yang tidak diakui Christianto. De facto kita saksikan secara telanjang berbagai MNC Amerika Serikat seperti Lehman Brothers yang mengalami ‘sakratul maut’, juga General Motors yang sedang sekarat sehingga harus diinfus dengan stimulans. Secara menyolok tampak benderang bahwa Pemerintah AS sudah banyak melancarkan intervensi pasar; suatu langkah yang keluar dari konsep dan prinsip Neolob sendiri.

Dari optik ini, menyitir Prof. Stanley Fish dari Universitas Florida, saya memandang Neolib sebagai ideologi, gagasan, trend, upaya, kebijakan ekonomi dan politik yang didasarkan pada keyakinan kuat terhadap andil Pasar Bebas. Paul Treanor dalam “Neoliberalism: Origins, Theory, Definition” juga menandaskan Neolib adalah “suatu filosofi di mana keberadaan dan operasi pasar dinilai dalam dirinya sendiri, terpisah dari hubungannya dengan produksi barang dan jasa terdahulu, dan di mana operasi pasar atau struktur serupa pasar dipandang sebagai etika dalam pasar itu sendiri; berkemampuan untuk berlaku sebagai penuntun bagi semua aksi manusia dan mengganti semua keyakinan etis yang telah ada sebelumnya …”

Dari sisi ini, meski saya bukan filsuf dan bukan pula ekonom, namun dengan logika sederhana saja dapat menggaris-bawahi bahwa salah satu konsekuensi destruktif dari Neolib adalah kecenderungan melihat manusia dan permasalahannya semata-mata atau melulu dari nilai ekonomi dan aksi yang dilakukannya. Secara filosofis, Neolib/Kapitalisme menempatkan manusia melulu sebagai homo economicus serta berpotensi (dan telah terbukti) mereduksi martabat manusia yang hanya sekadar “alat produksi” dan hanya bermanfaat demi kepentingan kaum kapitalis serta mengkapitalisasi segala sumber daya dari sisi ekonomi. Oleh karena itu tanpa ragu saya pun menilai Materialisme, Hedonisme, Konsumtivisme dan Kemarukisme alias keserakahan merupakan “paham ikutan” atau anak kandung dari Neolib/Kapitalisme juga.

Manusia jelas bukan hanya makhluk ekonomi, juga bukan sekadar mahluk politik, tetapi juga merupakan makhluk sosial dan makhluk spiritual. Jika kita komparasikan secara sederhana dengan Pancasila, justru nilai-nilai yang komprehensif dan integral lebih kuat dan lengkap diapresiasi dan diakomodasi oleh Pancasila. Eksistensi manusia dengan dignitas (martabat) dan esensi humanitasnya lebih jelas-tegas dipadukan dan diwadahi oleh Pancasila. Aspek kehidupan humanis, religius, sosial dan lain-lain dironai dengan indah pada mozaik Pancasila.

Kita pun tidak dapat memungkiri betapa Neolib/Kapitalisme telah menjadi monster bagi negara-negara berkembang bahkan bagi dunia umumnya. Betapa tidak. Tendensi dominasi Neolib/Kapitalisme yang ingin mengeruk keuntungan ekonomis secara sepihak sebesar-besarnya telah mengguncang tatanan sosial-kultural di berbagai kawasan, merusak lingkungan hidup, menimbulkan disparitas ekonomi yang kian lebar dan destruktif di berbagai negara, memperkaya dan terus meningkatkan akumulasi materi pada hanya segelintir “the haves”, dan mereduksi martabat manusia dan citra kemanusiaan hanya pada dimensi kebendaan. Dalam bingkai Keindonesiaan, Neolib/Kapitalisme secara terbuka dan nyata melahirkan eksploitasi luar biasa dan massif terhadap SDA kita, merapuhkan sendi-sendi perekonomian, hanya mempertebal lapisan elite dan memperparah ekonomi rakyat/kaum papa. Sebaliknya perhatian dan kepedulian kepada Rakyat Miskin samasekali tidak menjadi nilai yang dihiraukannya, karena bagi mereka yang terpenting hanyalah seberapa besar profit ekonomi yang dapat digelindingkan dari kantung-kantung SDA kita. Oleh karenanya bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, merupakan bohong besar bahwa leberalisme dapat menjamin kesetaraan, apalagi menghadirkan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Tentu saja patut diapresiasi bahwa kemajuan ekonomi sangat penting bagi kebaikan umat manusia dan hal itu telah tercipta di dunia Barat meski tidak semua negara Eropa menerapkan ekonomi pasar liberal. Kita pun mengakui adanya hal-hal positif-konstruktif dari liberalisme yang antara lain mencegah otoritarianisme. Namun membangun hanya satu dimensi (ekonomi dan liberal pula) seraya mengabaikan aspek-aspek lain, justru membahayakan bahkan dapat menghancurkan peradaban dan kemanusiaan secara universal.

Oleh karena itu menyandingkan apalagi mengidentikkan Pancasila dengan Neolib/Kapitalisme samasekali tidak tepat karena secara hakiki bertentangan, dengan demikian pandangan bahwa ’hakikat Pancasila adalah demokrasi liberal yang manusiawi’ dapat dikatakan sebagai ”fallacia” (kesesatan berpikir).

Mudah-mudahan wacara tentang Neolib dan Pancasila berkembang sehat, wajar, kritis dan bermanfaat untuk Kepentingan Nasional. Tentu saja kita bukan dan tidak boleh menjadi nasionalis sempit (ultranasionalis atau chauvinis), namun kita harus mampu mengapresiasi, mengaktualisasi secara kritis dan mengimplementasikan secara konsisten nilai-nilai Pancasila yang kita junjung bersama. Salam Pancasila dan selamat memasuki masa kampanya Pilpres demi Pancasila, demi Rakyat, Bangsa dan Negara tercinta, INDONESIA!

KIKI SYAHNAKRI, Ketua Bidang Pengkajian, Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD)

2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Pandangan, pernyataan, kutipan dan tanggapan Bapak mengenai NEOLIB & PANCASILA dari pernyataan Crhristianto Wibisono, sangat baik dan bijak.
    jika kita amati dengan seksama nilai-2 dasar pada Pancasila sangat terdeviasi jauh beberapa derajat dengan NEOLIB.
    NEOLIB untuk membuka Pasar Bebas saja yang seluas-luasnya apalagi bersinggungan dengan Pasar di belahan dunia lain, otomatis harus menggunakan beberapa intervensi mungkin diplomasi , POLITIK, EKONOMI bahkan MILITER atau bisa jadi AGAMA, ini mengingatkan saya pada era GOLD, GOSPEL & GLORY masyarakat eropa beberapa abad dahulu.
    tetapi saya juga tidak memandang sepenuhnya negative NEOLIB hanya saja bentuk liberalisme baru ini tidak se-ekstrim kapitalisme / penjajahan dahulu, ini sedikit lebih smooth.
    Oleh karena itu jangankan menyetarakan, menyadingkan nilai-2 dasar antara NEOLIB & PANCASILA saja tidak tetap sama sekali.
    Saya sangat apresiasi dengan pernyataan bapak, tetap menulis PAK!.

    Salam Hormat,

    Temmy Ismail Kusumah
    (RAKYAT)

    ReplyDelete