Thursday, September 10, 2009

SPEKTRUM MASALAH TERORISME

Diskursus tentang terorisme di berbagai mass media kembali mengemuka pasca bom JW Marriot–Ritz Carlton 17 Juli lalu hingga saat ini. Dilihat dari kacamata demokrasi hal ini amat positif karena menggambarkan kebebasan mengemukakan pendapat serta partisipasi yang amat luas. Namun amat disayangkan, diskursus yang diramaikan oleh pengamat, aktivis, wartawan dan purnawirawan tersebut pernah tergiring oleh pandangan bahwa terorisme merupakan “pelanggaran hukum”, sehingga perdebatan pun terjebak hanya pada masalah keikutsertaan TNI dalam penanganannya, bahkan sudah mengarah pada memperhadapkan TNI dengan Polri (Kompas 28/8/09), justru di tengah mereka sedang memperlihatkan kerjasama yang baik. Perdebatan semacam ini kontra produktif, tidak solutif, bahkan dapat mengundang persoalan baru.

Kompleksitas Terorisme

Masalah terorisme bukan sekedar masalah pelanggaran dan penegakan hukum semata, melainkan menyangkut masalah yang amat luas. Aksi terornya sendiri apalagi dengan modus bom bunuh diri pasti dilatar belakangi oleh masalah ideologi atau kepentingan, setiap aksi teror juga dipastikan mempunyai tujuan politik tertentu, korban jiwa dan kerusakan yang luas tentu berdampak buruk pada bidang ekonomi, akibat destruktif yang lebih serius akan terjadi pada bidang sosial-budaya yaitu munculnya patologi sosial berupa trauma luas dan tumbuhnya budaya kekerasan di kalangan masyarakat. Patut disadari bahwa terorisme di tanah air yang didukung terorisme global tidak pernah berhenti bermanuver, melakukan indoktrinasi, mengembangkan jaringan serta mengintip kesempatan untuk beraksi. Semua tindakannya dilakukan secara klandestin sehingga mereka dapat mengikuti apa yang dilakukan oleh aparat dengan leluasa, sebaliknya aparat menghadapi kesulitan untuk mendeteksi mereka, apalagi bila tindakannya hanya bersifat parsial/tidak terpadu. Fakta terakhir menunjukkan bahwa teroris telah berhasil merekrut para remaja belasan tahun dan seorang diantaranya menjadi pelaku bom bunuh diri di hotel JW Marriott, fakta ini sesungguhnya sudah sangat pantas untuk menjadi tanda alarm atau wake-up call bagi kita sebagai bangsa.


Badan Anti Teror(isme) Nasional

Menilik kompleksitas masalah serta perkembangan aktual terorisme di Tanah Air, kini sudah sepantasnya bahkan amat mendesak bagi Indonesia untuk membentuk Badan Anti Terorisme (sebutlah Badan Antiteror Nasional), suatu organisasi yang bersifat lintas departemen, melibatkan instansisi non departemen terkait termasuk Polri dan TNI, juga organisasi kemasyarakatan dan keagamaan seperti MUI, KWI, Walubi dan sebagainya. Agar kehadirannya menjadi efektif maka perlu pula diberikan kewenangan yang proporsional serta anggaran yang mencukupi. Badan serupa ini sudah terbentuk di Inggris dan Australia yang fungsi, tugas pokok dan desain organisasinya lebih diarahkan pada upaya preventif sehingga beberapa waktu lalu Australia berhasil menggulung teroris asal Somalia sebelum mereka berhasil melakukan aksinya. Sedangkan di Indonesia hanya ada Desk Anti Teror yang merupakan fasilitas staf dari Menko Polkam dan tidak memiliki kewenangan operasional sehingga dalam konteks pemberantasan terorisme amat tidak memadai.


Masalah Regulasi

Dalam rapat kerja Komisi-1 DPR dengan Menko Polhukam, Panglima TNI, Kapolri dan Jaksa Agung, Senin 31 Agustus 2009 telah disepakati pembentukan Badan Anti Terorisme serta pembuatan aturan bagi legalitas pelibatan TNI, (Kompas 1/9/09). Kesepakatan ini perlu segera ditindak lanjuti oleh pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) sebagai pengaturan sementara bagi operasionalisasinya. Sedangkan untuk kepentingan jangka panjang diperlukan penataan ulang terhadap regulasi yang ada (Tap MPR no VI dan VII, UU 34/2004 tentang TNI dan UU no 2/2002 tentang Polri) karena telah menimbulkan banyak masalah, di antaranya tumpang-tindihnya tugas dan tanggung jawab TNI-Polri, munculnya daerah abu-abu (grey area) dan terjadinya kekakuan (inflexible) di antara kedua institusi tersebut dalam menjalankan tugas masing-masing. Munculnya masalah tersebut akibat terjadinya pemisahan absolut antara fungsi Pertahanan dan Keamanan dalam Tap MPR no VI dan VII, padahal antara kedua fungsi tersebut terdapat overlap yang harus ditangani terpadu. Karenanya amandemen atau revisi yang akan dilakukan harus menyangkut juga kedua Tap MPR tersebut. Regulasi yang dihasilkan harus bersifat fleksibel, mampu memberikan kejelasan dan ketegasan fungsional bagi semua aktor yang berperan dan tidak menyisakan daerah abu-abu, serta mampu mereduksi sikap ego sektoral dari semua institusi yang terlibat. Mengacu pada apa yang dilakukan tentara dan polisi Inggris di Irlandia Utara, kita dapat menangkap tingginya kesadaran fungsional serta tidak adanya ego sektoral di antara mereka. Pada tahun 2001 di Irlandia Utara terdapat kekuatan tentara yang cukup besar dan dipimpin oleh seorang jenderal bintang tiga, sedangkan polisinya merupakan polisi daerah dipimpin oleh seorang kolonel (kombes). Namun kedua institusi tersebut mampu menunjukkan kualitas team work yang amat tinggi, sehingga dapat melakukan tugasnya dengan amat efektif, efisien serta tidak keluar dari koridor hukum karena dilandasi oleh profesionalitas dan kesadaran fungsional yang tinggi.

Pembentukan Badan Anti Teror yang bersifat terpadu serta pembenahan regulasinya sangat urgen untuk segera diwujudkan, sehingga penanganan terorisme tidak lagi bersifat parsial-fragmentaris dan sektoral. Dengan demikian, upaya pemberantasan terorisme ke depan akan bergerak dengan lebih efektif-efisien serta mampu membongkar masalah sampai pada akarnya.

Kiki Syahnakri, Letjen TNI (Purn), Ketua Dewan Pengkajian PPAD

No comments:

Post a Comment