Tanggapan terhadap Marco Kusumawijaya
BENCANA mahadahsyat gempa bumi disertai tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara merupakan tragedi alam yang menyentuh nurani manusia manapun dan mengundang simpati lintas-bangsa, lintas-budaya, lintas-agama, lintas-kepentingan yang berbaur menjadi satu muatan: pro-kemanusiaan. Begitu beratnya dampak yang ditimbulkan baik secara material maupun immaterial terutama korban jiwa, sehingga uluran tangan berdatangan dari mana-mana termasuk dunia internasional.
Kalau komunitas internasional saja tergerak untuk membantu humanitarian relief bagi masyarakat Aceh-Sumut – dari dukungan fisik-teknis (termasuk pengerahan militer dan relawan sipil) hingga sokongan dana – yang berskala besar, maka niscaya kita anak bangsa sendiri mestinya lebih terangsang untuk membantu apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan masyarakat yang tertimpa bencana.
Kondisi Aceh pasca bencana merupakan “realitas abnormal” dalam arti sesungguhnya, yang secara analogis dapat diibaratkan dengan kondisi pasien gawat-darurat (emergency) yang perlu ditangani dengan tindakan medis yang bersifat emergency pula. Kondisi darurat semacam itu membutuhkan langkah therapi yang bersifat darurat pula tanpa meninggalkan norma – yang lazim ditatalaksanakan dalam kondisi normal – terlalu jauh. Memandang, menganggap dan mengambil langkah secara “normal” terhadap suatu kondisi “abnormal” atau gawat-darurat dapat – atau bahkan sudah – merupakan sebagian dari kesalahan malah kegagalan dalam pendekatan terhadap masalah.